Suara Karya

ALIANSI KEBANGSAAN
Pontjo Sutowo Sebut Indonesia Beruntung Miliki Pancasila

Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo (Foto: suarakarya.co.id/Istimewa)

JAKARTA (Suara Karya): Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, menyatakan betapa beruntungnya bangsa Indonesia memiliki Pancasila dalam bernegara. Ideologi tersebut-lah diyakini yang mempersatukan kemajemukan masyarakat, dengan perbedaan adat, budaya, serta kepentingan antara satu dengan yang lainnya.

Namun demikian Pontjo mengatakan, walaupun telah memiliki ideologi yang kuat, bukan berarti kehidupan berbangsa dan bernegara akan dijalani dengan mulus. Karena faktanya hari ini Indonesia masih dihadapkan berbagai fenomena yang mengancam persatuan bangsa seperti adanya kelompok masyarakat yang masih mempertentangkan antara Pancasila dan agama, terjadinya pembelahan/segregasi di dalam masyarakat karena perbedaan aspirasi politik maupun perbedaan latar belakang SARA, dan lain-lainnya.

“Harrison dan Huntington dalam bukunya: “Cultural Matters: How Values Shape Human Progress” (2000) telah mengingatkan kita bahwa budaya merupakan modal utama bagi ketahanan dan kemajuan sebuah bangsa. Jika suatu bangsa tidak memiliki modal socio-budaya yang khas dan kuat, bersiap-siaplah bangsa tersebut akan terhapus dari catatan peradaban dunia,” tukasnya.

Sedangkan ranah institusional politikal (tata kelola) yang pada umumnya berkaitan dengan desain kelembagaan dan tata-kelola manajemen Negara dijalankan, perlu terus dibangun berdasarkan paradigma Pancasila, untuk memungkinkan perwujudan bangsa yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Bahwa tatanan sosial-politik hendak dibangun melalui mekanisme demokrasi yang bercita kerakyatan, cita permusyawaratan dan cita hikmat-kebijaksanaan dalam suatu rancang bangun institusi-institusi kenegaraan yang dapat memperkuat persatuan dan keadilan sosial.

Arah pembangunan tata kelola negara jelas Pontjo, harus ditujukan juga untuk pemberdayaan rakyat melalui pengembangan partisipasi segenap elemen bangsa dalam berbagai bidang pembangunan. Usaha ini hendaknya dimulai dari pengembangan partisipasi rakyat dalam politik melalui perbaikan lembaga perwakilan dengan memperhatikan aspek keterwakilan (bukan hanya keterpilihan), perbaikan sistem Pemilu, peningkatan kapasitas wakil rakyat, serta perbaikan tata kelola perencanaan pembangunan nasional.

Pontjo mengingatkan bahwa merumuskan pilihan sistem ketatanegaraan yang sesuai bagi bangsa Indonesia yang heterogen dan multikultur dalam rangka memperkuat peran Negara (state-building) menjadi hal yang sangat penting, agar bangsa ini tidak salah urus dan menjadi negara gagal sebagaimana diperingatkan oleh Acemoglu & Robinson (2012).

“Sejak awal berdirinya Republik ini, para pendiri bangsa menyadari sepenuhnya bahwa nation building merupakan agenda penting yang harus terus dibina dan ditumbuhkan. Untuk memadukan kebutuhan demi mengukuhkan kebangsaan melalui nation-building, dengan kebutuhan akan penguatan negara melalui state[1]building, diperlukan kepemimpinan nasional yang kuat,” tegas Pontjo.

Sedangkan dalam ranah material teknologikal, kita tidak boleh lagi terjebak dalam apa yang disebut oleh Gustav Papanek (2014) sebagai “penyakit Belanda (Dustch desease)” yaitu terlena dengan kekayaan alam yang dimiliki. Atau kutukan sumber daya alam (Natural Resource Curse) sebagaimana diindikasikan oleh Richard Auty (1993)”.

“Kalau bangsa Indonesia ingin maju, makmur, mandiri ekonominya, dan berdaya saing global, tidak ada pilihan selain terus mengupayakan transformasi perekonomian dari berbasis sumber daya alam (Resource Based Economy) menjadi ekonomi yang berbasis Ilmu pengetahuan (Knowledge Based Enconomy),” katanya.

Hadir dalam diskusi: antara lain Prof Dr Sofian Effendi, PhD (Guru Besar Ilmu Administrasi Negara UGM), Prof. Dr. Sri Adiningsih, M.Sc (Anggota Watimpres 2015-2019),  Prof. Dr. FX. Eko Armada Riyanto (Guru Besar STFT Widya Sasana Malang), Dr Inaya Rakhamni (Akademi Ilmuwan Muda Indonesia) dan Yudi Latif, Ph.D (Pakar Aliansi Kebangsaan). (Bayu)

Related posts