Presiden: BPPT Harus jadi Otak Pemulihan Ekonomi Berbasis Teknologi

0

JAKARTA (Suara Karya): Presiden Joko Widodo meminta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menjadi otak pemulihan ekonomi berbasis teknologi. Disebutkan solusi tiga langkah untuk meraih target tersebut.

“Upaya pemulihan ekonomi kita harus bergeser dari basis komoditi menuju ekonomi inovasi dan teknologi. Karena itu, kita harus meningkatkan kapasitas diri,” kata Presiden dalam Rakernas Penguatan Ekosistem Inovasi Teknologi BPPT 2021, Senin (8/3/2021).

Tiga langkah yang dimaksud Presiden adalah pertama, BPPT harus aktif berburu inovasi dan teknologi untuk dikembangkan hingga memasuki tahap komersialisasi.

Kedua, BPPT harus mampu menjadi lembaga yang memiliki strategi akuisisi teknologi maju dari manapun yang dapat diimplementasikan secara cepat.

“Kita harus buat kerja sama teknologi di Indonesia, yang melibatkan para teknolog Indonesia agar transfer pengetahuan dan pengalaman dapat berjalan. Perintah ini tak hanya untuk BPPT, tetapi juga seluruh jajaran kabinet,” ujar Presiden.

Ketiga, BPPT harus menjadi pusat kecerdasan teknologi Indonesia dalam persaingan menguasai ‘Artificial Intelligence’ (AI) dengan mensinergikan talenta Indonesia baik di dalam maupun luar negeri.

“Saya berharap BPPT dapat menjadi lembaga ‘extraordinary’ dengan melakukan cara-cara baru yang lebih inovatif dan kreatif, sehingga menghasilkan karya nyata untuk kemajuan bangsa,” kata Presiden.

Ditambahkan, para peneliti, inovator, industriawan Indonesia, semuanya harus bekerja sama mengembangkan teknologi masa depan, teknologi berbasis revolusi industri 4.0, teknologi hijau yang ramah lingkungan dan teknologi yang menyejahterakan rakyat.

Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/BRIN) Bambang Brodjonegoro mengemukakan, upaya ekonomi berbasis inovasi itu tidak akak optimal jika tidak didukung penggunaan produk dalam negeri.

Penggunaan produk dalam negeri harus disikapi dengan dua pendekatan, pertama produk asing dirakit di dalam negeri. Kedua, produk dibuat di dalam negeri memakai lokal konten yang besar.

“Pendekatan pertama itu namanya proses manufaktur. Kita pakai pendekatan kedua, karena kita ingin main hulu, tidak lagi di hilir. Jika kita biasa dengan jargon hilirisasi hasil riset, maka saat pakai produk dalam negeri yang kita pikirkan adalah bagaimana desain dan pengembangan-nya,” ujarnya.

Menurut Bambang, pengembangan produk pun ada yang basisnya R&D yang benar-benar baru atau ada juga yang bersifat ‘reverse engineering’. “Tak sekadat meniru teknologi, tetapi harus menjadi fondasi dalam melakukam sesuatu yang baru,” ucapnya.

Ia menilai urgensi penggunaan produk dalam negeri menjadi penting. Peran BPPT melalui analisis dan rekayasa teknologi, terutama peningkatan TKDN tidak hanya di manufaktur (hilir) namun juga pada R&D (hulu). Hulu akan menjadi sangkat kritikal, sehingga kemampuan BPPT dalam pengkajian dan penerapan semakin sentral.

Disisi lain, Audit Teknologi BPPT menjadi bagian yang sangat penting dalam melihat kemampuan teknologi yang perlu diadopsi dari luar negeri. Hal itu terkait kualitas produk dan daya saing. “Indonesia sebagai negara besar, jika ingin ekonomi stabil kita tidak boleh bergantung terlalu besar terhadap produk impor,” kata Menristek.

Kaitannya dengan kebijakan moneter, Bambang menjelaskan, neraca perdagangan ada dua cara yang dapat dilakukan yaitu tingkatkan ekspor atau kurangi impor. Meningkatkan ekspor tak mudah dilakukan, karena berhubungan dengan kebutuhan pasar internasional.

“Jika kita ingin mengurangi impor, bukan berarti mengurangi pembelian. Tetapi lebih mensubtitusi kebutuhan produk impor dengan produk dalam negeri. Perlu upaya untuk Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN),” ucapnya. (Tri Wahyuni)