
JAKARTA (Suara Karya): Prevalensi kanker di Indonesia terus bertambah dalam 5 tahun terakhir, dari sebelumnya 1.4 per 1000 penduduk pada 2013 menjadi 1.79 per 1000 penduduk pada 2018. Untuk itu, masyarakat diminta waspada, dengan cara menghindari faktor risikonya.
“Karena hingga kini kita belum tahu secara pasti faktor penyebab kanker, apakah usia, gender atau kerentanan keturunan. Yang bisa kita cegah adalah faktor risikonya,” kata Ketua Komite Penanggulangan Kanker Nasional (KPKN) Kementerian Kesehatan (Kemkes), Soehartati Gondhowiardjo di Jakarta, Kamis (31/1/2019).
Pernyataan itu disampaikan terkait Hari Kanker Sedunia yang diperingati setiap 4 Februari. Hadir dalam kesempatan itu, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemkes, Anung Sugihantono.
Untuk pencegahannya, Soehartati meminta masyarakat untuk mengurangi faktor risikonya. Salah satunya, hindari konsumsi makanan pabrikan yang banyak mengandung bahan pengawet, pewarna, perasa dan penyedap.
“Cobalah kembali ke gaya hidup sehat. Hanya mengkonsumsi bahan pangan segar yaitu buah dan sayuran. Kurangi makanan pabrikan yang banyak di pasaran, karena banyak mengandung bahan pengawet, pewarna, perasa dan penyedap. Semua itu tak baik, apalagi untuk anak-anak,” tuturnya.
Selain itu, lanjut Sorhartati, pentingnya menghindari paparan dari asap rokok. Karena menjadi perokok pasif, sama bahayanya dengan perokok aktif. Karena asap rokok menjadi salah satu penyebab kanker paru-paru, yang pasiennya terus bertambah setiap tahun.
Untuk virus, Soehartati menyebutkan, ada beberapa kanker yang sudah kita ketahui penyebabnya. Seperti virus human papillomavirus pada penderita kanker leher rahim, epstein-barr virus pada kanker nasofaring dan limfoma, virus hepatitis B dan C pada kanker hati dan virus helicobaxter pylori pada kanker lambung.
“Pada kanker tertentu, sudah tersedia vaksinnya. Misalkan, vaksin untuk virus human pappiloma dan hepatitis,” ujarnya
Anung Sugihantono menambahkan, untuk pencegahan dan pengendalian kanker di Indonesia, khususnya 2 jenis kanker terbanyak yaitu payudara dan leher rahim, pemerintah telah melakukan upaya antara lain deteksi dini kanker payudara dan kanker leher rahim pada perempuan usia 30-50 tahun.
Pemeriksaan dilakukan dengan metode Pemeriksaan Payudara Klinis (SADANIS) untuk payudara dan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) untuk leher rahim. “Kemkes telah mengembangkan deteksi dini kanker pada anak, pelayanan paliatif kanker, deteksi dini faktor risiko kanker paru, dan sistem registrasi kanker nasional,” katanya menandaskan.
Terkait data prevalensi kanker yang terus bertambah, Soehartati mengutip hasil Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2018 yang menunjukkan prevalensi kanker tertinggi di Provinsi DI Yogyakarta yaitu 4,86 per 1000 penduduk, diikuti Sumatera Barat 2,47 per 1000 penduduk dan Gorontalo 2,44 per 1000 penduduk.
Sedangkan data Globocan menyebutkan, pada 2018 terdapat 18,1 juta kasus kanker baru di dunia dengan angka kematian sebesar 9,6 juta orang. Itu artinya, 1 dari 5 laki-laki dan 1 dari 6 perempuan di dunia mengalami kejadian kanker. Data itu juga menyatakan 1 dari 8 laki-laki dan 1 dari 11 perempuan meninggal karena kanker.
“Angka kejadian kanker di Indonesia adalah 136.2 per 100.000 penduduk. Indonesia berada di urutan 8 untuk Asia Tenggara, dan urutan ke 23 untuk wilayah Asia,” ujarnya.
Angka kejadian tertinggi di Indonesia, lanjut Soehartati, untuk laki-laki adalah kanker paru sebesar 19,4 per 100.000 penduduk dengan rata-rata kematian 10,9 per 100.000 penduduk. Berikutnya kanker hati sebesar 12,4 per 100.000 penduduk dengan rata-rata kematian 7,6 per 100.000 penduduk.
“Untuk perempuan, angka tertinggi pada kanker payudara sebesar 42,1 per 100.000 penduduk dengan rata-rata kematian 17 per 100.000 penduduk. Posisi kedua pada kanker leher rahim sebesar 23,4 per 100.000 penduduk dengan rata-rata kematian 13,9 per 100.000 penduduk,” ujarnya. (Tri Wahyuni)