
JAKARTA (Suara Karya): Negara harus hadir sebagai penegak keadilan dan kebenaran, dan jangan abai bahkan saling lempar tuduhan dengan klaim kebenaran sepihak yakni dengan melakukan tabayun atau membentuk tim pencari fakta.
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. M. Din Syamsuddin mengatakan, nasi sudah menjadi bubur, kekerasan yang menciderai kesucian Ramadhan berujung jatuhnya korban jiwa pada peristiwa (demo) 21 hingga 23 Mei 2019 yang merupakan reaksi terhadap penetapan hasil pemilu 2019 oleh KPU yang oleh sebagian rakyat dianggap tidak jujur dan tidak adil sungguh memprihatinkan.
“Untuk itu perlu dilakukan tabayun melalui Tim Pencarian Fakta. Kalau tidak, Tragedi Ramadhan 2019 ini akan menjadi lembaran hitam dalam kehidupan kebangsaan kita,” kata Prof. M. Din Syamsuddin falam rilisnya yang diterima Suara Karya di Jakarta, Rabu pagi (29/5/2019).
Din mengatakan, peristiwa 21 hingga 23 Mei 2019 sebagai reaksi terhadap penetapan hasil pemilu 2019 oleh KPU berakibat belasan nyawa, termasuk berusia remaja hilang sia-sia, dan ada yang belum diketahui nasibnya.
“Hal ini tidak bisa tidak, adalah buah dari kekerasan yang mengenaskan yang terjadi pada bulan suci Ramadhan. Seyogyanya semua pihak, baik rakyat maupun aparat, dapat melakukan imsak atau pengendalian diri sebagai esensi ibadah Ramadhan,” ujarnya.
Lebih parah lagi jika kekerasan fisik yang telah menimbulkan korban (jiwa) itu masih berlanjut pada kekerasan verbal dalam bentuk saling menyalahkan, ujarnya bahkan dengan saling melempar tuduhan, dengan klaim akan kebenaran secara sepihak, inilah awal dari malapetaka kebangsaan.
“Maka, tiada jalan lain utk mengatasinya kecuali negara harus hadir menegakkan keadilan dan kebenaran. Jangan sampai negara abai, dan meluncur menjadi negara kekerasan dengan menampilkan kekerasan negara (state violence),” tandasnya.
“Inilah saatnya keadilan dan kebenaran ditegakkan. Kalau tidak, Allah Yang Maha Adil akan menegakkannya, kalau tidak di dunia maka pasti di akhirat nanti,” kata Din Syamsuddin. (indra)