JAKARTA (Suara Karya): Peristiwa pengambil alihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di jalan Diponegoro Nomor 58 Jakarta Pusat dari massa pendukung Megawati Soekarno Putri ke Soerjadi (Ketua Umum PDI versi Kongres PDI Medan), kini sudah berumur 22 tahun, tepatnya terjadi pada 27 Juli 1996 yang dikenal dengan sebutan Peristiwa ‘Kudatuli’.
Namun hingga saat ini, proses hukum terhadap para pelaku, belum memberikan keadilan bagi korban, bahkan dinilai masih jauh pangang dari api.
Demikian dikemukakan Alvon Kurnia Palra, mantan Ketua Yayayan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang menjadi pendamping korban kasus tersebut, dalam keterangan tertulisnya, kepada Suara Karya, Senin (13/8).
Dia mengatakan, dalam peristiwa ini, ada dugaan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan (crime agains humanity) karena telah terjadi perencanaan yang sistematik dan penyebaran kekerasan yang meluas.
Menurut dia, dalam peristiwa itu, sejumlah pejabat Depdagri dan mantan petinggi ABRI/Polri diduga terlibat dalam, seperti mantan Pangab Faisal Tanjung, mantan Kapolri Dibyo Widodo, mantan Dirjen Sospol Depdagri Soetoyo, dan mantan Kasdam Jaya Susilo Bambang Yudhoyono.
“Selama 22 tahun berlalu, proses hukum terhadap pelaku yang memberikan keadilan bagi korban masih jauh pangang dari api. Meskipun sudah ada pengadilan koneksitas yang digelar pada saat presiden Megawati berkuasa, proses itu hanya secara pidana,” ujar Alvon.
Itu pun, kata dia, hanya mampu membuktikan seorang buruh yang mengerakan massa dan melempar batu ke kantor PDI dan 2 perwira militer yakni Kol CZI Budi Purnama (Mantan komandan detasemen intel kodam jaya) dan Letnan (inf) Suharto (mantan Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya).
“Padahal, dalam pendekatan proses hukum yang berkeadilan, masih ada langkah hukum yang mesti dilakukan, seperti dalam hukum HAM. Apabila mengacu pada UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, konstruksi peristiwa penyerangan kantor PDI pada tanggal 27 Juli 1996 memenuhi syarat materil dan formil untuk diproses melalui Pengadilan HAM ad hock,” katanya menambahkan.
Menurut dia, langkah hukum itu bisa dilakukan, meski saat ini Komnas HAM belum menyimpulkan dan menetapkan peristiwa 27 Juli 1996 sebagai pelanggaran HAM berat, karena belum menemukan keterkaitan antara fakta penyerangan sekretariat PDI yang menimbulkan korban dengan pihak yang diduga sebagai pelaku penyerangan.
“Semestinya, Komnas HAM dapat menambah bukti guna mengukuhkan melalui proses penyelidikan adanya indikasi keterkaitan antara fakta penyerangan sekretariat PDI dengan menghubungkan beberapa peristiwa yang terjadi sebelum 27 Juli 1996, seperti adanya kebencian-kebencian yang direncanakan oleh penguasa terhadap aktivis pro demokrasi, mengintimadasi, menangkapnya dan intervensi Negara melalui gubernur dan menteri dalam Negeri saat berlangsung KLB Surabaya tanggal 2-6 Desember 1993 di Asrama Haji Sukolilo,” kata Alvon.
Dengan demikian, ujar dia, peristiwa penyerangan atas sekretariat PDI bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan saling berhubungan yang membuktikan adanya perencanaan secara sistematis, meluas serta di iringgi adanya factor-faktor pemicu terjadinya pelanggaran HAM berat.
Berdasarkan itu, Alvon menambahkan, para korban dan perwakilan Peristiwa 27 Juli 1996, ingin mengadu ke Komnas HAM pada hari selasa tanggal 14 Agustus 2018 jam 14.00 WIB guna meminta penyelesaan peristiwa 27 Juli 1996 dan meminta keadilan atas peristiwa ini. Korban dan perwakilan akan didampinggi oleh Badan Bantuan Hukum dan Advokasi PDI Perjuangan. (Gan)