
JAKARTA (Suara Karya): Protokol kesehatan ketat seharusnya tak hanya diterapkan tak hanya dalam sekolah, tetapi juga diluar sekolah. Karena hampir sebagian besar siswa pulang ke rumah tanpa pelindung masker dan berjalan bergerombol.
“Saat di sekolah siswa disiplin pakai masker dan jaga jarak, begitu pulang mereka seakan tak lagi peduli. Masker langsung masuk saku untuk dipakai lagi besoknya. Ini jelas berbahaya,” kata Analis Kebijakan dan Ahli Madya Ditjen PAUD Dikdasmen, Kemdikbud, Suhartono Arham dalam media gathering yang digelar Biro Kerjasama dan Hubungan Masyarakat (BKHM) Kemdikbud di Bogor, Minggu (23/8/20).
Pria yang akrab dipanggil Anton itu menyayangkan, upaya keras sekolah dalam pencegahan covid-19 harus kandas, lantaran siswa abai terhadap aturan. Diperlukan peran masyarakat dan orangtua agar anak patuh untuk bermasker dan menjaga jarak.
“Saat pembelajaran tatap muka dibuka kembali di zona hijau dan kuning, ada kekhawatiran kalau sekolah menjadi klaster baru dalam penularan covid-19. Padahal penularan itu bisa saja terjadi di luar sekolah, yang justru lemah dalam penerapan protokol kesehatan,” ucap Anton.
Ia berharap kesadaran dalam mematuhi protokol kesehatan ditanamkan pula oleh orangtua, sehingga anak tak hanya patuh saat berada di sekolah, tetapi juga di luar sekolah. Tanpa dukungan orangtua dan masyarakat, mustahil penularan covid-19 antar anak bisa dihindari.
“Klaster penularan covid-19 antar anak yang awalnya dicurigai muncul di sekolah, ternyata setelah ditelusuri penularan terjadi bukan di area sekolah. Karena kasusnya muncul saat kebijakan pembukaan sekolah diumumkan, sekolah lantas dituding jadi penyebab penularan,” katanya.
Data dari laman Covid19.go.id per 19 Agustus 2020 menyebutkan dari 423.492 satuan pendidikan baik PAUD, SD, SMP, SMA, SMK maupun SLB di 34 provinsi, tercatat 32.821 satuan pendidikan (8 persen) berada di zona merah; 205.154 satuan pendidikan (48 persen) di zona oranye.
Selain itu ada 151.269 satuan pendidikan (36 persen) di zona kuning dan 34.248 satuan pendidikan (8 persen) di zona hijau. Total jumlah sekolah yang diizinkan tatap muka sebanyak 185.517 satuan pendidikan atau 44 persen.
Melihat kondisi itu, Anton meminta kepada seluruh Dinas Pendidikan di daerah untuk berhati-hati dan berkoordinasi dengan Gugus Tugas Penanganan Covid-19 di daerah masing masing. Jika ada salah satu pihak yang tidak mau membuka kelas, sebaiknya direspon.
“Jangan sampai niat baik untuk pembelajaran tatap muka berakibat fatal akibat kurangnya disiplin dan lemahnya pengawasan pelaksanaan protokol covid-19 di lingkungan sekolah,” katanya.
Hal lain yang patut mendapat perhatian adalah desakan sejumlah sekolah di zona oranye dan merah untuk pembelajaran tatap muka. Padahal, kewenangan untuk buka sekolah tak hanya di Kemdikbud, tetapi juga ada di Gugus Tugas Penanganan Covid-19 di wilayah masing-masing, pemerintah daerah, dinas pendidikan dan orangtua.
“Keinginan daerah untuk buka sekolah sangat besar, meski mereka tahu itu tidak mungkin terjadi, karena daerahnya masuk zona merah,” tuturnya.
Anton bisa memahami keinginan kepala daerah itu tak lepas dari desakan banyak orangtua yang mulai kerepotan dalam mengawasi anaknya saat mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ). Selain itu anak juga mulai jenuh dan bosan di rumah.
“Hampir sebagian besar tugas yang diberikan guru menjadi beban orangtua. Apalagi tak semua orangtua menguasai mata pelajaran yang diajarkan sekolah. Itulah alasan orangtua jadi stress menghadapi pendidikan anaknya,” ujarnya.
Anton menilai, kejenuhan siswa dalam PJJ tak lepas dari minimnya kreativitas guru. Kegiatan belajar membuat jenuh karena guru lebih banyak memberi tugas, mulai dari mengerjakan soal, membaca teks, membuat video dan lainnya. Model pembelajaran seperti itu dilakukan pada semua mata pelajaran.
“Coba bayangkan, kalau dalam sehari ada 3-4 mata pelajaran dan semuanya kasih tugas, tentunya anak akan bosan,” katanya.
Karena itulah, Anton menilai, kreativitas guru dalam PJJ menjadi kunci penting keberhasilan pembelajaran secara daring. Guru tidak semestinya mengambil jalan pintas, seperti memberi tugas ke siswa. Harus tercipta pembelajaran dua arah yang menyenangkan siswa. (Tri Wahyuni)