PT KAMU tak Respon, Pemkab Agam Terima Tembusan Somasi, Anggota Poktan Ungkap Hidup dalam Penderitaan

0
Netri, ketua Poktan Jaya Bersama, Sungai Aur Kenagarian Lubuk Basung, Agam, Sumatera Barat (Foto:ist)

JAKARTA (Suara Karya): Perusahaan Kelapa Sawit PT KAMU sampai saat ini belum merespon somasi yang diajukan oleh kuasa hukum Kelompok Tani Jaya Bersama dan warga Padang Mardani, Agam, Sumatera Barat. Somasi ditembuskan, salah satunya sudah diterima oleh Pemerintah Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Somasi yang diajukan kuasa hukum Horas AM Naiborhu itu kelanjutan dari perjuangan Anggota Poktan Jaya Bersama Sungai Aur dan sejumlah warga Padang Mardani yang masih terus memperjuangkan hak atas tanah mereka di wilayah tersebut. Meskipun melalui penderitaan hidup berkepanjangan bahkan dulu hingga bertaruh nyawa dan kini hidup dalam kesederhanaan anggota poktan dan warga tersebut berharap ada titik terang.

Somasi atau teguran bertanggal 19 Januari 2022 tersebut tembusannya disampaikan kepada berbagai instansi yaitu, Komisi III DPR RI di Jakarta, Kementerian Agraria & Tata Ruang RI/Badan Pertanahan Nasional cq. Wakil Menteri Agraria & Tata Ruang RI/Wakil Kepala BPN di Jakarta, Kanwil BPN Provinsi Sumbar di Padang, Bupati Agam di Lubuk Basung, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Agam di Lubuk Basung dan para pemberi kuasa sebagai laporan.

“Mestinya PT KAMU merespon somasi yang sudah diterimanya, namun kita tunggu iktikad baiknya,” ucap Horas singkat di Jakarta, Jumat (19/4/2022).

Terpisah, kabar somasi sudah diterima di Pemerintah Kabupaten Agam sebagai tembusahan disampaikan warga setempat yang juga menjadi koordinator Kelompok Tani Jaya Bersama. “Saya mendapat kabar dari orang Pemda (Pemkab Agam) bahwa somasi tersebut memang sudah diterimanya,” kata Alzar Amier melalui komunikasi telepon seluler dan media sosial dari Lubuk Basung, Agam, Sumbar, Jumat (19/4/2022).

Alzar Amier, biasa disapa Eja menyatakan Poktan Jaya Bersama Sungai Aur bersama sejumlah warga setempat di Padang Mardani melalui kuasa hukum Horas Naiborhu megajukan tuntutan ganti rugi atas tanah mereka sudah yang dikuasai oleh PT Karya Agung Megah Utama (KAMU) sejak 1985, atau sekitar 37 tahun. (Berita terkait berikutnya, Penjelasan Kuasa Hukum Horas Naiborhu, SH)

“Kami tetap memperjuangkan hak kami menuntut kompensasi yang sesuai atas PT KAMU yang hingga kini belum memberikan ganti rugi. Kami juga berharap Pemkab Agam memperhatikan hak-hak rakyatnya yang berjuang tanpa henti sampai kapanpun menuntut hak kami yang dirampas, jangan sebaliknya Pemkab abai atau mendukung perusahaan sawit yang mengeruk keuntungan di atas tanah rakyatnya,” tandas Eja yang tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai respon Pemkab Agam atas somasi tersebut.

Ketua Poktan Jaya Bersama Netri, yang juga merupakan orang tua dari Alzar Amier mengemukakan hidup mereka berada dalam kesulitan penuh tekanan dari berbagai pihak termasuk dari pemda. Saat ini, diantara mereka menjadi buruh tani, bekerja secara serabutan, berjualan makanan atau usaha lainnya yang dapat menghidupi keluarga mereka.

“Banyak dari kami kini menjadi buruh tani, bekerja serabutan, dan berjualan makanan. Dulu, anggota poktan (Kelompok Tani Jaya Bersama) selalu diancam akan dipenjarakan bila menuntut hak atas tanah kami ini,” ungkapnya.

Netri melalui Eja mengungkapkan, mereka sudah kehabisan biaya karena banyak pengeluaran dalam perjuangan betahun-tahun mempertahankan hak atas tanah mereka bekas erfpacht verponding Nomor 216 seluas 400 hektar yang terletak di Sungai Aur, Kenagarian Lubuk Basung, Kecamatan Lubuk Basung, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

“Uang telah habis berjuang untuk mendapatkan hak kami ini, tapi tanah tetap saja dikuasai oleh PT KAMU, kami kehilangan tempat bercocok tanam dan berusaha. Bahkan setiap kali kami mengajukan tuntutan maka kami diancam dipenjarakan, bagaimana kira-kira perasaannya jika sudah begitu. Jelas, kami yang banyak berpendidikan rendah merasa takut,” ucap Eja lirih.

Karena itu, ujarnya saat ini poktan berjuang tidak sendiri tetapi bersama warga lainnya melalui kuasa hukum menuntut PT KAMU untuk memberikan ganti rugi atas tanah yang selama ini dijanjikan.

“Memang perusahaan sawit itu selalu menjanjikan akan menyelesaikan hak kami tetapi tidak pernah terealisasi. Namun, dalam perjuagan kami banyak diantaranya penuh ketakutan dan anggota poktan juga diancam oleh para petinggi (pejabat setempat) supaya menyerahkan surat-surat tanah poktan. Bukti pembayaran pajak tanah kami, tahun 1980 sampai 1984 diminta paksa dulu oleh Pemda Agam, jika tidak mau menyerahkan dikatakan melawan pemerintah,” jelasrnya.

Begitu pula, kata Eja bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) mereka diminta supaya diserahkan. “Dulu oleh Pak Muncak pada tahun 1983-1984 diserahkan karena ditekan terus. Untuk tahun 1980-1982 bukti pembayaran PBB hilang dipegang oleh Bapak Badarudin,” terangnya.

Mengenai perlakuan kekerasan dan ancaman dipenjarakan bagi anggota poktan yang masih menuntut tanahnya, kata Eja dapat dibuktikan, bahkan ada yang meninggal pada awal perusahaan kelapa sawit tersebut mengambil paksa tanah mereka.

“Yang pernah dipenjara adalah Libusri (Nasa) selama lebih kurang tiga bulan pada tahun 1988. Kemudian, setelah dibebaskan oleh PT KAMU dia tidak mau lagi menuntut tanahnya. Waktu dia (Libusri) ditahan itu, ketua poktan (Poktan Jaya Bersama) adalah Nazarudin (sudah meninggal). Yang lainnya dipenjarakan adalah Bapak Badarudin (almarhum), Ifitdwifa anak dari Bapak Badarudin dan masih banyak lagi tetapi sudah meninggal,” jelasnya.

Alzar menambahkan, pernah terjadi kekerasan pada 1988 antara PT KAMU dan masyarakat yang bertahan atas tanahnya, beberapa orang meninggal di lokasi konflik yaitu, Pak Misik (umur 66 tahun) dan Nuan St Bagindo (65 tahun). Mereka meninggal sewaktu itu karena cemas dan ketakutan diancam akan ditembak.

“Masyarakat diperlakukan seperti hewan buruan dan mereka mengusir anggota poktan dari lahan kami. Bahkan diantaranya ada yang meninggal terbakar yaitu penjaga kebun yang berada dalam pondoknya yang dibakar pada malam hari. Yang terbakar, namanya Pak Tami, kakak dari ketua poktan Nazarudin,” jelas Eja.

Waktu itu, tambahnya siapa saja yang datang melihat orang-orang yang berada dalam tahanan akan dipenjarakan pula. “Setiap orang yang datang melihat Bapak Bada (Badarudin) ke penjara, maka orang itu dipenjarakan pula. Akibatnya anggota poktan ciut nyalinya dan takut melihat untuk Bapak Bada di penjara,” ujarnya.

Menurut Eja, perjuangan mereka saat ini adalah bagian dan kelanjutan dari perjuangan para orang tua mereka yang tidak rela melepas haknya yang dirampas dengan kekuatan bersenjata oleh perusahaan perkebuhan bersama oknum pemerintahan.

“Kami, rakyat ini menjadi korban atas keserakahan orang-orang yang berkuasa dan tidak memperhatikan hak rakyat. Namun, kami tidak patah arang (putus asa), kami terus memperjuangkan hak kami,” ucapnya. (dra)