JAKARTA (Suara Karya): Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Asep Saefuddin berpendapat, Program Organisasi Penggerak (POP) sebaiknya ditunda dulu, hingga ada konsep yang kokoh. Yakni, sebuah konsep yang dapat menjawab secara tegas pertanyaan 2W1H (Why, What dan How).
“Bila semuanya serba tidak jelas, wajar saja jika tiga organisasi pendidikan terkemuka itu mundur,” kata Asep Saefuddin dalam siaran pers, Sabtu (25/7/20).
Asep mengatakan, POP yang diluncurkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim pada awal Maret 2020 itu pada awalnya dinilai bagus. Setidaknya ada keinginan dari Kemdikbud untuk melibatkan masyarakat dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
“Gagasan berbasis gotong royong ini, saya nilai patut mendapat acungan jempol,” ujarnya.
Asep mengaku terkejut saat mendengar ada tiga organisasi pendidikan terbesar di Indonesia menyatakan mundur dari POP. “Jika organisasi sekelas Muhammadiyah, NU dan PGRI mundur, jelas ini bukan persoalan sederhana. Karena ketiga organisasi itu sudah malang melintang di dunia pendidikan kita sejak lama, bahkan ada sebelum kemerdekaan,” tuturnya.
Di kalangan umat Islam, lanjut Guru Besar Bidang Statistika IPB, ormas lain yang juga sangat kuat dalam pendidikan adalah Mathlakul Anwar, Al Wasliyah, Al Khairat, Al Irsyad, Persis dan turunan-turunannya dalam bentuk pondok pesantren dan madrasah.
“Belum lagi dari Katolik, Kristen, Budha, Hindu, dan Konghucu. Mereka memiliki peran yang tak kecil dalam pendidikan di Indonesia. Tanpa kepedulian mereka, negara akan kewalahan terutama dari segi pendanaan,” ujarnya.
Asep menilai Kemdikbud perlu melakukan kajian yang mendalam atas problematika pendidikan nasional. Ide OP dengan konsep gotong royong memang bisa menjadi salah satu solusi. Namun, konsep itu harus diperjelas lebih dulu dengan menjawab pertanyaan yang berisi 2W1H (Why, What dan How).
“Di tataran “Why”, Kemdikbud harus mampu mengkaji sampai ke akar-akarnya. Hasil PISA bisa saja dijadikan sebagai indikator, tetapi jangan terlalu parsial dan terpotong-potong (fragmented). Lewat kedalaman, ketajaman dan keluasan analisis, tentunya hal itu akan berdampak pada W (what) dan H (how).
“Kalau dari “Why” itu lahir POP, harus jelas juga bentuk “what” dan “how”nya. Apakah pernah dikaji kelembagaan dan metodenya,” kata Asep mempertanyakan.
Ditambahkan, bila persoalan pendidikan sekadar perbaikan PISA, bisa saja solusinya tidak dalam bentuk POP seperti digagas Kemdikbud. Itu semua harus jelas dulu. Supaya tidak terjadi salah tindakan, kaki yang digaruk padahal tangan yang gatal.
“Seandainya POP adalah “what” yang benar, apakah “how”nya tepat? Termasuk “how” dari proses seleksi. Dari informasi terlihat bahwa organisasi besar seperti PGRI, Muhammadiyah dan NU dianggap sama dengan organisasi yang baru lahir. Tentu ini tidak baikn,” ujarnya.
Dalam konsep independensi dan “blind reviewer” belum tentu sebuah “how” yang benar untuk masalah ini. Harus dibedakan dengan proses penilaian paper untuk jurnal yang menggunakan pola independensi dan “blind reviewer”.
“Semua itu ada “how” yang berbeda-beda. Termasuk juga perbedaan negara. Belum tentu “how” yang bagus di sebuah negara itu otomatis bagus di Indonesia,” ucapnya.
Menurut Asep, Kemdikbud harus belajar dari kontroversi yang terjadi dalam POP. Karena pendidikan bukan sekadar mengejar ketertinggalan teknologi disrupsi dan inovasi, tetapi jauh lebih mendasar dari hal itu.
“Pendidikan intinya berkaitan kemanusiaan. Bukan sekedar inovasi, IQ dan teknologi. Pembenahannya harus dilakukan secara holistik. Sehingga sumber daya manusia kita punya daya imajinasi yang tinggi yang berefek pada tumbuhnya inovasi,” katanya menegaskan.
Dan yang tak kalah penting adalah kolaborasi. Hal itu diperlukan agar inovasi menjadi bermanfaat untuk masyarakat. Belum lagi unsur religi dan spiritualitas. Dan banyak lagi unsur-unsur mendasar lainnya yang perlu dikaji secara mendalam. Bukan sekedar perbaikan permukaan.
“Tanpa kajian mendalam, akan lahir kebijakan yang tidak matang. Makanya, tak heran jika muncul ketidakpuasan. Meski dibungkus dengan dalih profesional, hal itu tak akan menutup kelemahan konsep. Profesionalitas itu sifatnya di lapisan luar, padahal yang paling penting ada di kedalaman dan kekuatan konsep. Tanpa itu, perbaikan hanya terjadi di lapisan kulit,” ucapnya. (Tri Wahyuni)