
JAKARTA (Suara Karya): Agama diturunkan oleh Tuhan adalah untuk memerdekakan manusia. Agama adalah untuk manusia sebagai anugerah dari Tuhan. Ajaran agama adalah pedoman yang ingin menghantarkan manusia menjadi manusia merdeka. Merdeka dari penjajahan, merdeka dari kekerasan, merdeka dari kebodohan, merdeka dari fanatisme dan merdeka dari kemiskinan.
“Esensi dari agama yang diturunkan oleh Tuhan untuk memerdekan manusia itu sejatinya secara normatif semua agama itu sangat baik dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Karena agama itu pada akhirnya adalah apayang ditafsirkan, dihayati dan dilaksanakan oleh manusia atau umatnya,” ujar Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) yang juga Cendikiawan Muslim, Prof. Dr. Komarudin Hidayat, di Jakarta, Selasa (20/8/2019).
Menurutnya, agama itu sebenarnya merupakan bagian dari perilaku budaya dan politik. Dengan demikian masyarakat harus menyadari bahwa agama dan kekuatan agamamerupakan suatu komunitas dan menjadi suatu yang realitas di Indonesia,
“Fenomena agama ini sebenarnya adalah fenomena global. Agama dan identitas itu global. Contohnya kalau di India ada Hindu, lalu di Amerika adaKristen, lalu di Filipina ada Katholik dan di Arab ada Islam. Jadi fenomena keberadaan agama ini masalah Global,” ungkap Komarudin.
Namun menurutnya, di era demokrasidan globalisasi yang telah masuk di eradigital ini kemudian manusia merasamenjadi insecure atau tidak aman. Ketika merasa tidak aman ini makamanusia ini mencari ‘rumah’. Dan ‘rumah’ yang paling akrab di mata manusia itu adalah etnis dan agama.
“Tetapi oleh para politisi, yang palingmudah disentuh emosinya itu yaagama ini. Oleh karena itu agama ini kemudian menjadi dikapitalisasi oleh politisi itu. Dan ini terjadi tidak hanya di Indonesia saja, tetapi di mana pun. Nah yang menjadi persoalan itukemudian ketika agama itudikapitalisasi, maka manusia itucenderung emosional,” ujar Komarudin
Menurutnya di era demokrasi itumanusia bukan bicara mengenai salahatau benar, tapi bicara suka dan tidak suka. Oleh karena itu pengerahan massa itu menjadi lebih menonjol dan program-program yang visioner, intelektual justru malah tenggelam.
“Dan sekarang ini para tokoh-tokoh agama itu ditantang bagaimana agar meerka ini bisa menjadi aset, yaitu aset dari bangsa ini. Jangan sampaikemudian agama itu menjadi beban. Tetapi sekarang ini sayangnya dari sekian banyak komunitas agama itu bukan produktif, yang ada malah minta sumbangan,” kata pria kelahiran Magelang, 18 Oktober 1953 ini..
Hal ini menurutnya tentunya telah menjadi beban bagi sebagian besar para tokoh agama tersebut yang harus malu akibat agama yang menjadi tidak produktif tersebut. Para tokoh harus bisa membawa agama untuk menghilangkan hal-hal yang tidak produktif yang ada di dalam agama itu
“Jadi mestinya agama itu baik secara ekonomi, secara intelektual bisa berkembang secara mandiri agar umatnya juga bisa merdeka tanpa adanya beban buruk yang tidak produktif tadi. Karena kalau tidak bisa berkembang secara mandiri maka bukan tidak mungkin agama ini nantiakan di kapitalisasi oleh politisi, menjadi social capital,” ucap pria yang juga mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Terkait adanya wacana NKRI bersyariah yang muncul dari rekomendasi Ijtima Ulama IV beberapa hari lalu menurut Komarudin sejatinya apa yang diwacanakan itu hanya label semata. Karerna sesungguhnya substansi agama itu di Indonesia sendiri sebenanrya sudah dilaksanakan.
“Substansi agama itu sebenanrya di negeri ini sudah dilaksanakan Misalnya, Agama mengajarkan antikorupsi yang mana saat ini ada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), itu kan menunjukkan sesuatu yang agamis. Lalu agama ada anti kebodohan yang mana ada pendidikan. Lalu Agama anti sakit yang mana ada rumah sakit. Jadi sebenanrya tanpa label agama pun sejatinya agama itu sudah dilaksanakan,” tuturnya.
Tak hanya itu, Komarudin pun kembali menanyakan substansi apa lagi yangsekarang telah ditawarkan agamasehingga tanpa label NKRI bersyariah pun sejatinya bangsa Indonesia ini telah melaksanakan hal tersebut.
“Agama kan juga senang dengan kebersihan dimana ada Menteri Kesehatan yang mana menunjukkan kesehatan itu berawal dari kebersihan. Jadi kita harus kembali ke substansi. Jangan lagi ada label-label itu (bersyariah) deh. Label itu hanya emosi saja itu. Itu (wacana NKRI bersyariah) pepesan kosong saja,” tegasnya. (gan)