JAKARTA (Suara Karya): Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Koalisi Perlindungan Data Pribadi, meminta Pemerintah mengambil peran kunci dalam menumbuhkembangkan kesadaran publik, untuk melindungi data-data pribadi, khususnya dalam penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Mengingat, penyalahgunaan data pribadi telah menjadi permasalahan besar dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia, seiring dengan akselerasi proses transformasi digital yang berlangsung hari ini.
“Contoh paling aktual ialah penyalahgunaan data pribadi yang marak dalam bisnis teknologi keuangan (financial technology), melalui pemberian kredit tanpa agunan (KTA). Modus penyalahgunaan dilakukan melalui pengaksesan data-data pribadi (phone contact, gambar, etc.) yang terdapat di telepon genggam debitur (pengguna layanan). Jika terjadi telat atau gagal bayar, beberapa perusahaan penyedia layanan akan menggunakan data pribadi tersebut untuk mengintimidasi debitur, untuk segera melakukan pembayaran,” ujar Deputi Direktur Riset ELSAM, Wahyudi Djafar, kepada suarakarya.co.id, Rabu (31/10/2018).
Belum lagi, kata dia, ancaman eksploitasi data pribadi (data exploitation) menjelang pelaksanaan Pemilu 2019, yang mulai mengandalkan strategi data analytic, yang berpangkal pada penggunaan data skala besar (big data).
Wahyudi mengatakan, minimnya kejelasan aturan perlindungan data (pribadi) pada data-data pemilu (electoral database), juga penggunaan data-data pengguna media sosial untuk keperluan analitik data, kian menambah kerentanan atas perlindungan data pribadi warga negara.
Kondisi serupa, katanya, juga terjadi pada hampir semua model bisnis yang menggunakan platform teknologi internet, seperti e-commerce, layanan, transportasi online, IoT (Internet of Things), dan lain sebagainya.
“Kasus-kasus penyalahgunaan data pribadi ini terjadi setidaknya dikarenakan dua hal. Pertama, masih rendahnya kesadaran masyarakat Indonesia dalam menjaga atau melindungi data pribadinya, sehingga mereka dengan mudah menyebarkan atau memindahtangankan data pribadinya ke pihak lain. Kedua, belum adanya perangkat undang-undang yang komprehensif dan memadai untuk melindungi data pribadi, khususnya terkait dengan hak dari subjek data, dan kewajiban data controller serta data processor di Indonesia. Termasuk belum adanya kejelasan kewajiban dan tanggung-jawab dari perusahaan penyedia layanan, yang mengumpulkan data pribadi konsumennya,” kata Wahyudi.
Saat ini, menurut dia, lebih dari 101 negara di dunia telah memiliki instrumen hukum yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan data pribadi warga negaranya.
“Negara-negara Asia Tenggara, seperti Malaysia, Filipina, Singapura, dan Laos pun telah memiliki instrumen hukum komprehensif, yang mengatur perlindungan data pribadi bagi warga negaranya. Sedangkan Indonesia, sebagaimana kita ketahui bersama, hingga saat ini, belum memiliki undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan data pribadi,” ujarnya lebih lanjut. (Gan)