
JAKARTA (Suara Karya): Kini saatnya ekosistem reka cipta menjadi lompatan baru dalam pemulihan ekonomi nasional. Alasannya, ekosistem dapa merangkul sekaligus dunia pendidikan, mitra industri dan organisasi profesi dalam sebuah kerja sama pentahelix.
Demikian dikemukakan Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Nizam usai penandatanganan kerja sama dengan Persatuan Insinyur Indonesia (PII) dan KADIN (Kamar Dagang Indonesia) DKI Jakarta, Selasa (25/8/20).
Hadir dalam kesempatan itu Ketua Umum Forum PII Heru Dewanto; Ketua KADIN DKI Jakarta Diana Dewi; Sekretaris Ditjen Dikti, Paristiyanti Nurwardani dan anggota Tim Kerja Akselerasi Reka Cipta Indonesia Ditjen Dikti.
Nizam menuturkan, ekosistem reka cipta menjadi penting jika merujuk pengalaman sebelumnya, dimana perguruan tinggi dan industri masih jalan sendiri-sendiri. Sehingga terjadi missing link antara pihak inovator dan investor. Padahal, jika kedua pihak itu saling dukung, maka bukan mustahil tercipta inovasi bernilai ekonomi.
“Kami optimis, karena semua itu sudah dibuktikan di masa pandemi saat ini. Hasil inovasi yang dilakukan perguruan tinggi seperti ventilator, alat pemeriksa PCR hingga baju pelindung diri untuk tenaga medis digunakan dalam penanganan pasien corona virus disease (covid-19). Itu artinya, karya inovator di perguruan tinggi memiliki nilai jual,” tuturnya.
Ditambahkan, pandemi covid-19 telah menyadarkan para pihak akan 3 hal. Pertama, kenyataan disrupsi yang mengglobal sehingga butuh adaptasi untuk bertransformasi digital. Kedua, terjadi peningkatan penemuan reka cipta perguruan tinggi selama masa pandemi.
Ketiga Nizam, fakta bahwa disrupsi mampu mengubah keterbatasan menjadi peluang. Inovator menciptakan reka cipta yang dulu dianggap tak mungkin bisa dilakukan. “Pembelajaran daring menjadi contoh transformasi digital di masa pandemi covid-19,” jelasnya.
Mantan Dekan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menyebutkan, ada sekitar 1000 inovasi berbentuk teknologi dan obat diciptakan
perguruan tinggi. Diantaranya, masker 3D, robot perawat, drone, alat rapid test, ventilator dan sebagainya.
“Investor pun mau mendukung produksi berbagai alat tersebut. Fenomena ini dapat menjadi contoh kolaborasi yang sesungguhnya antara inovator dan investor.
“Ini adalah momentum yang tepat bagi kita semua untuk melakukan lompatan dan terobosan rekacipta untuk meningkatkan nilai ekonomi. Seperti yang amanah Presiden Joko Widodo, bagaimana mengubah kondisi ekonomi dari yang negatif menjadi positif,” katanya.
Sementara itu, Ketua KADIN DKI Jakarta, Diana Dewi memberi apresiasi atas rencana membangun ekosistem reka cipta Indonesia. Karena ia percaya sumber daya lulusan perguruan tinggi di Indonesia memiliki kecakapan dan pengetahuan dalam memberi solusi.
“Kondisi ini juga memberi ‘pekerjaan rumah’ bagi industri untuk terus kreatif dalam menyusun pola bisnis yang baru. Apalagi jika para inovator perguruan tinggi menawarkan beragam produk yang menarik untuk dikembangkan,” ucap Diana Dewi menandaskan.
Hal senada dikemukakan Ketua Forum PII, Heru Dewanto. Katanya, reka cipta sekarang telah mengalami transformasi. Jika dulu reka cipta dimulai dari science, lalu engineering, kemudian lahirlah reka cipta baru. Saat ini reka cipta, tidak hanya dilahirkan dari konteks laboratorium, tetapi bisa dari inovasi, bahkan bisa dari 3-4 inovasi.
Namun, diakui Heru, implementasi reka cipta masih mengalami tantangan pada tahap komersialisasi. Lewat ekosistem reka cipta, diharapkan tak ada lagi ‘valley of death’ pada tahapan komersialisasi reka cipta.
Sesditjen Dikti, Paristiyanti menambahkan, selain meningkatkan kolaborasi antara peneliti dan investor, diharapkan kerja sama juga untuk implementasi kebijakan Kampus Merdeka. Sehingga terbuka ruang bagi mahasiswa untuk belajar dan magang di dunia industri selama 6-10 bulan.
“Dengan demikian, lulusan memiliki kemampuan yang relevan dengan dunia usaha. Hal itu membuka peluang untuk menciptakan lulusan yang siap bekerja,” kata Paris menandaskan. (Tri Wahyuni)