Saksi Direksi Bahana Ancam Polisikan Dirut Meratus Line

0

JAKARTA (Suara Karya): Saksi Direksi PT Bahana Line Ratno Tuhuteru, mengancam  Dirut PT Meratus line Slamet Rahardjo dan Fenny Karyadi melaporkannya ke Polisi. Hal ini dipicu, karena mereka dinilai memaksakan mengkaitkan Ratno terlibat dqlam kasus penggelapan bahan bakar minyak (BBM) padahal tidak ada bukti sama sekali.

Menurut Ratno, secara sengaja PT Meratus terus mengorder minyak tanpa mau membayar sampai senilai Rp 50 miliar. Internal audit PT Meratus yang awalnya mengaku rugi Rp 501 miliar kemudian Rp 94 Miliar dan berubah Rp 93 miliar juga disebutnya sangat aneh. Dan lebih aneh juga memasalahkan penghasilan dirinya mencapai Rp 6 miliar dan Dirut PT Bahana Line Rp 14 miliar selama tiga sampai empat tahun berjalan.

“Selama ini kami melayani sebagai priority customer malah menggerogoti dengan ngemplang utang. Sampai Dirut kami suruh stop melayani karena sudah sampai Rp 50 miliar tidak dibayarkan,” kata Ratno, Selasa (7/2/2023).

Dalam persidangan itu, Ratno mengaku awalnya tidak tahu hal itu dan baru tahu setelah ada pemeriksaan soal penyelewengan BBM tersebut.

“Awalnya saya tidak tahu, baru tahu ketika adanya pemeriksaan polisi soal penyelewengan BBM,” ujarnya.

Sekadar informasi, sebagai Direktur yang membidangi pengawasan, Ratno tidak pernah mencium adanya ketidak beresan dalam berbisnis dengan PT Meratus Line. Apalagi selama menjabat, hubungan bisnis perusahaannya dengan PT Meratus selalu berjalan dengan baik.

“Selama ini ya baik-baik saja. Apalagi, Meratus ini termasuk customer priority sampai akhirnya tidak mau bayar Rp 50 miliar,” katanya.

Menurut dia, ketidakberesan dengan PT Meratus mulai muncul saat 20 Desember 2021, saat mereka tak lagi mau membayar tagihan BBM dengan berbagai alasan tetapi terus mengorder. Bahkan pihaknya sempat terus memasok kebutuhan BBM PT Meratus hingga mencapai nilai tagihan sebesar Rp 50 miliar lebih. Pada batas itu, Dirut PT Bahana Line, Hendro Suseno sempat marah dan menghentikan pasokan BLM ke Meratus.

“Iya saya sempat marah-marah, lah tidak dibayar kok masih disuplai BBM nya. Tanpa mengindahkan hubungan, kami yang harus juga memikirkan perusahaan terpaksa menghentikanu pasokan tersebut,” ujarnya.

Menurut Ratno, cash flow kami dengan Meratus sekitar Rp 30 miliar sampai Rp 35 miliar saja. Kebiasan dari Meratus tidak seperti itu, karena kemampuan tidak cukup kami stop, ketika kami nagih tahu-tahu seperti itu (bermasalah).

Selama ini dalam hal pembayaran, Meratus selalu berpatokan pada flowmeter miliknya. Sehingga, dalam perkara ini dapat timbul Purchasing Order (PO) dua kali. Pertama sifatnya order estimasi, yang kedua berbasis catatan riil dari flowmeter PT Meratus.

“Meratus berpatokan pada masflowmeternya dia, jadi dia akan bayar sesuai masflowmeter sesuai dengan angka yang diterima. Semua pakai standar dia tapi tetap tidak mau bayar,” ujarnya. (Bobby MZ)

 

.