Selama Pandemi, BPOM Temukan Banyak Produk Pangan Rusak di Gudang Distributor

0

JAKARTA (Suara Karya): Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan banyak produk pangan yang rusak dan terbengkalai di gudang-gudang distributor selama pandemi corona virus disease (covid-19). Karena itu, masyarakat diingatkan untuk memeriksa produk secara seksama sebelum dibeli.

“Yang perlu diperiksa selain tanggal kedaluwarsa, juga kondisi produknya. Jangan terima jika berkarat, penyok atau berubah warna dan bau,” kata Penny Lukito dalam jumpa pers virtual tentang hasil intensifikasi pengawasan pangan selama Ramadhan dan Jelang Idul Fitri 2020′, Jumat (15/5/20).

Dijelaskan, pihaknya dalam satu bulan terakhir melakukan pengawasan pangan rutin jelang Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri 2020. Hasilnya mengejutkan, ada 38 persen dari 1.197 sarana distribusi atau gudang distributor yang tidak memenuhi ketentuan (TMK). Mayoritas barang sudah kedaluwarsa dan rusak karena terbengkalai selama penerapan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).

“Intensifikasi Pengawasan Pangan kami lakukan secara serentak sejak 27 April hingga 22 Mei 2020 melalui 33 Balai Besar/Balai POM dan 40 Kantor Badan POM di kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Pengawasan ini kami lakukan dalam dua tahap,” ujarnya.

Kegiatan itu, lanjut Penny, mulai tahun ini berfokus pada tiga kategori yaitu pengawasan sarana distribusi, termasuk sarana ritel, pengawasan pangan olahan seperti pangan Tanpa Izin Edar (TIE) atau ilegal, kedaluwarsa dan rusak. Selain pengawasan pangan jajanan buka puasa atau takjil atas kemungkinan terkandung bahan berbahaya di dalamnya.

Hasil intensifikasi pengawasan pangan pada 27 April – 8 Mei 2020 menunjukkan masih banyak ditemukan pangan olahan yang TMK. Dari 1.197 sarana distribusi pangan yan diperiksa, ada 38 persen sarana distribusi TMK karena menjual pangan rusak, kedaluwarsa, maupun TIE.

“Jumlah total temuan produk pangan TMK sebanyak 290.681 pieces dengan total nilai ekonomi mencapai Rp654 juta. Dibandingkan tahun 2019, terjadi peningkatan jumlah temuan produk TMK akibat penumpukan di gudang karena menurunnya permintaan masyarakat,” katanya.

Berdasarkan lokasi, temuan jenis pangan TIE banyak di Surakarta dan Banyumas di Jawa Tengah, Banggai di Sulawesi Tengah, Manokwari di Papua Barat dan Sorong di Papua Barat dengan jenis pangan berupa Bahan Tambahan Pangan (BTP), teh, roti, makanan ringan, dan sirup.

Sedangkan temuan pangan kedaluwarsa banyak ditemukan di Manokwari, Sorong, Mimika, Morotai dan Aceh Tengah dengan jenis pangan minuman serbuk, minuman berkarbonasi, mentega, wafer, dan makanan ringan.

Temuan pangan rusak dengan jenis pangan minuman berperisa, susu, krimer, biskuit, dan makanan ringan banyak ditemukan di Manokwari, Gorontalo, Aceh Tengah, Sorong, dan Surakarta.

Pada jajanan berbuka puasa (takjil) ditemukan 73 sampel (1 persen) dari total 6.677 sampel yang diperiksa yang Tidak Memenuhi Syarat (TMS). Karena takjil tersebut mengandung bahan yang disalahgunakan dalam pangan seperti formalin, boraks, rhodamin B, methanyl yellow.

Temuan bahan berbahaya paling banyak adalah formalin (45 persen), rhodamin B (37 persen), boraks (17 persen) dan methanyl yellow (1 persen). Bahan berbahaya itu terdapat dalam kudapan, minuman berwarna, makanan ringan, mie, lauk pauk, bubur dan es.

“Dibandingkan temuan pada 2019, sebenarnya terjadi penurunan persentase TMS dari 3 persen menjadi 1 persen,” katanya.

Tindak lanjut terhadap pangan olahan kemasan yang rusak, kedaluwarsa, dan TIE dengan cara diturunkan dari display. Barang tersebut direkomendasikan untuk diretur ke supplier atau dimusnahkan. Setelah itu dilakukan pembinaan ke penjual/manajemen ritel agar tidak menerima produk yang TMK. (Tri Wahyuni)