
Slamet Sukriadi.M.Pd
Penulis adalah : Dosen FIK UNJ, Mahasiswa Pasca Sarjana UNJ
JAKARTA (Suara Karya) : Peringatan Hari Olahraga Nasional (Haornas) ke-37 yang dirayakan 9 September 2020 terasa berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya Haornas tahun 2020 dilaksanakan disaat Indonesia sedang berjuang menghadapi pandemi covid 19. Namun semangat olahraga tetap berjalan dan terus digelorakan. Melihat dari sejarah penyelenggaraan Haornas tak bisa lepas dari gelaran Pekan Olahraga Nasional (PON). PON menjadi cikal bakal ditetapkannya Haornas.
Haornas ditetapkan berdasarkan pada tanggal pembukaan PON ke-1 di Surakarta 9-12 September 1948, yang terbentuk akibat kegagalan atlet Indonesia untuk berlaga di kancah internasional. Namun Peringatan Hari Olahraga Nasional tidak semata mata untuk mengenang sesorang, organisasi, peristiwa atau pahlawan dalam bidang olahraga saja, melainkan sebuah momentum untuk mengingat kembali peristiwa sejarah olahraga Indonesia yang memberikan inspirasi dan motivasi bagi seluruh Bangsa.
Hari Olahraga Nasional merupakan wujud nyata kepedulian pemerintah akan pentingnya Olahraga Pendidikan, Olahraga Prestasi dan Olahraga Rekreasi sesuai dengan UU No. 3 tahun 2005 (Sistem Keolahragaan Nasional/SKN). Tentu juga harus dibarengi dengan pentingnya nilai – nilai Olympism yang disampaikan kepada masyarakat Indonesia, baik di dunia Pendidikan melalui Pendidikan Jasman, Klub – Klub Olahraga Prestasi maupun kegiatan – kegiatan olahraga masyarakat yang bersifat rekreasi.
Olympism adalah suatu paham yang sangat mendasar yang mencerminkan dan mengkombinasikan antara jasmani, rohani dan Psikis serta mencerminkan aspek sosial dalam aktivitas yang harmonis antara olahraga, budaya, pendidikan sehingga timbul keselarasan dalam kehidupan.
Olympism adalah sebuah konsep dari Langkah awal Olympic Charter bagi International Olympics Commitee (IOC). Secara singkat, Olympism adalah sebuah konsep yang dikembangkan oleh Pierre de Coubertin (1863-1937). Beliau adalah seorang pendidik yang berupaya untuk mereformasi Pendidikan, diawali terbatas hanya di sekolah-sekolah Perancis, di mana ia ingin membuat olahraga modern merupakan bagian integral dari rutinitas sekolah.
Dia juga mendorong ide membuat olahraga diakses tidak hanya untuk remaja tetapi juga untuk orang tua sebagai bagian yang baru ditemukan dari pendidikan yang lengkap (Wigmore, 2007b).
Menurut Baron Pierre de Coubertan, tujuan olimpisme adalah to educate young peoples through sport on spirit in better understanding betwen each other and of friendship thereby helping to build a better and more peaceful world.
Bisa dibilang ini adalah asal-usul dari “Sport for All” konsepsi yang menyeluruh bagi Sebagian negara dan berkembang secara universal untuk menjaga perdamaian dunia
International Olympics Committee (IOC) menyatakan Olympism adalah filsafat hidup, yang menempatkan olahraga untuk melayani manusia “(IOC 2011a, 1).
Filosofi Olympism mencakup:
Olympism adalah filsafat hidup, meninggikan dan menggabungkan secara seimbang seluruh kualitas tubuh, akal dan pikiran. Memadukan olahraga dengan budaya dan pendidikan, Olympism berusaha untuk menciptakan cara hidup berdasarkan usaha sukacita, nilai pendidikan contoh yang baik, tanggung jawab sosial dan menghormati yang universal prinsip-prinsip etis yang mendasar.
Tujuan dari Olympism adalah untuk menempatkan olahraga menjadi pelayan yang harmonis, pengembangan manusia, dengan maksud untuk mempromosikan masyarakat yang damai berkaitan dengan pelestarian martabat manusia.
Praktek olahraga adalah hak asasi manusia. Setiap individu harus memiliki kemungkinan berlatih olahraga, tanpa diskriminasi apapun dan dalam semangat Olimpiade, yang membutuhkan saling pengertian dengan semangat persahabatan, solidaritas dan fair play.
Bentuk diskriminasi yang berkaitan dengan negara atau orang atas dasar ras, agama, politik, jenis kelamin atau tidak sesuai dengan milik untuk Gerakan Olimpiade (IOC 2011a, 10-11).
Olympism mempunyai visi menempatkan olahraga dimana saja sebagai wahana pembentuk manusia secara utuh yang harmonis dalam rangka membentuk masyarakat yang damai dan saling menghormati.
Olahraga memiliki peran strategis yang dapat berada dimana saja dan dalam bentuk apa saja. Olahraga dapat menjadi media untuk eksistensi dan kebanggaan suatu bangsa. Dia dapat dijadikan sebagai media yang ampuh untuk mendidik generasi muda. Sebagai ilmu olahraga merupakan obyek kajian yang kaya dimensi keilmuan.
Masih banyak fungsi dan peran olahraga bagi masyarakat seperti pendorong kemajuan ekonomi, alat pemersatu bangsa dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa olahraga adalah miniatur aktivitas dunia pada umumnya.
Dalam beberapa tahun ini kita melihat kondisi olahraga dan sosial masyarakat yang memperihatinkan Pada beberapa kegiatan olahraga baik yang sifatnya kompetisi atau festival justru menimbulkan konfik dan permusuhan, kebencian, bahkan dapat berujung kerusuhan. Bahkan olahraga sudah tidak lagi menjadi tontonan yang menarik bagi sebagian masyarakat. Mengapa demikian ?
Padahal dalam rangka memperingati hari olahraga nasional atau biasa disebut Haornas pemerintah mencanangkan tiga tema besar yaitu Sport Science, Sport Industry dan Sport Tourism harus pula dimasukan nilai – nilai olympism yang masuk didalamnya, sehingga edukasi kepada masyakat dapat afektif dan efisien , karena kurangnya pemahaman nilai-nilai olimpiade dan penyebarluasan paham olympisme (olympic movement) dalam kehidupan masyarakat. Kurang kuatnya pemahaman olympism menjadikan olahraga di Indonesia belum mampu mempengaruhi sendi kehidupan berbangsa.
Terkadang olahraga telah dijadikan sebagai alat oleh sekelompok orang mencapai tujuannya. Tersanderanya olahraga oleh kepentingan dan ambisi diluar olahraga inilah menyebabkan nilai-nilai olahraga tidak mampu mewujudkan tujuannya.
Piere de Coubertan sudah menduga sebelumnya bahwa hal ini akan terjadi. Selanjutnya Coubertan juga mengatakan bahwa “Jika kehidupan olahraga tidak diberi frame yang kuat maka olahraga akan menjadi tunggangan politik, alat mencari kekuasaan, mencari dan mengejar kemenangan semata, perjudian dan bahkan olahraga dapat menyebakan terjadinya peperangan.”
Melalui semangat Haornas dan Olympism kita hidupkan kembali nilai – nilai persahabatan, persaudaraan dan perdamaian dapat terwujud. Senada dengan hal tersebut Presiden IOC 2001 – 2013 Jaqcues Roge juga mengatakan, “Our world today is in need of peace, tolerance and brotherhood. The value of of olympic games can deliver these to us.” Lebih jauh, Juan Antonio Samarach Presiden IOC periode (1980 – 2001) juga mengatakan : Bangsa yang besar umumnya mempelajari, memahami dan menerapkan nilai-nilai olympism secara konsisten dan konsekuen.
Olympism mengajarkan kepada kita tentang menjaga kesucian diri ketika bertanding, menjaga kekuatan fisik dan mental, semangat berprestasi, jujur dan saling menghargai. Menghindarkan dari segala bentuk diskriminasi, suku, agama, ras, ideologi dan warna kulit. Olimpisme juga mengajarkan bahwa kemenangan bukan yang utama dalam sebuah kompetisi, namun perjuangan untuk mencapai kemenangan itulah yang menjadi hakekat dari sebuah kompetisi. Semangat olympism juga mengajarkan tiga sikap yang luhur yaitu friendship, excelent dan respect.
Friendship adalah sikap persahabatan, berempati dan bersimpati, saling memberi dan melayani, serta saling mendukung. Selalu menghargai lawan bukan sebagai musuh tetapi sebagai teman bermain.
Excelent adalah sikap yang pantang menyerah, menunjukkan kinerja yang unggul dalam mencapai prestasi serta selalu menjaga keseimbangan prestasi, kemampuan fisik, mental dan motivasi. Respect adalah sikap yang menghargai diri dan orang lain dalam keyakinan, keragaman, hak dan pencapaian prestasi seseorang.
Jika diimplementasikan dalam kehidupan sehari – hari dengan benar dari ketiga sikap ini , dapat diterapkan tidak hanya di bidang olahraga namun juga pada kehidupan masyarakat secara keseluruhan. melalui semangat Haornas dan menghayati nilai – nilai olympism diharapkan mampu mengatasi permasalahan dan efek negatip dari olahraga. Semoga dengan pemahaman dan implementasi olympism dapat membantu mengurai carut marutnya kehidupan saat ini, tidak hanya di dalam olahraga, namun kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
REFERENSI
International Olympic Committee. (2007a). Olympic Charter. Lausanne: IOC. Retrieved from http://multimedia.olympic.org/pdf/en_report_122.pdf
International Olympic Committee. (2007b). Teaching values: An Olympic education toolkit. Lausanne: IOC.
International Olympic Committee. 2011a. Olympic Charter. Lausanne: International Olympic Committee.
International Olympic Committee. 2011b. London 2012 education programme helps spread Olympic values. Olympic.org, December 15. Retrieved from http://www.olympic.org/ news?articlenewsgroup=-1&articleid=149195&Lenskyj, H. J. (2012). Olympic education and Olympism: Still colonizing children’s minds. Educational Review, 64, 265-274. http://doi.org/smh
International Olympic Committee.Naul, R. (2008). Olympic education. Oxford: Meyer & Meyer Sport Ltd
Wigmore, S. (2007a,). Olympism-a must for the school curriculum. Proceedings of the 2007 China Forum on the Humanities and Social Sciences and Beijing Olympic Games International