
JAKARTA (Suara Karya): Lantaran sepi peminat, 12 perguruan tinggi swasta (PTS) di Jakarta memutuskan untuk tak lagi beroperasi alias tutup. Jumlah itu, diperkirakan akan bertambah tahun ini, karena ada beberapa kampus mulai tak aktif memperbaharui datanya ke pangkalan data.
“Kami akan visitasi ke 4-5 kampus yang memiliki indikasi tak aktif. Kami datang, sambil memberi pilihan untuk merger atau tutup dengan kesadaran sendiri,” kata Pelaksana tugas (Plt) Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Nizam usai sosialisasi 4 kebijakan baru bidang pendidikan tinggi, di Jakarta, Kamis (6/2/20).
Acara tersebut dihadiri pimpinan PTN, pimpinan PTS, Kepala dan Sekretaris Lembaga Layanan (LL) Dikti dan pakar pendidikan tinggi dari World Bank, Jamil Salmi yang membagikan praktik terbaik pengelolaan perguruan tinggi di negara maju. Hal itu sesuai dengan kebijakam Kampus Merdeka yang digagas Mendikbud Nadiem Makarim.
Nizam menjelaskan, dari 12 PTS yang tak lagi aktif tersebut, ada dua PTS memilih untuk tutup, tujuh PTS melakukan merger dan tiga PTS lainnya pindah ke wilayah luar Jakarta. ”
“Dua PTS memilih tutup karena badan hukum penyelenggara atau yayasannya memang sudah tak sanggup menjalankan perguruan tinggi tersebut. Begitu dengan PTS yang merger, semua dilakukan dengan kesadaran masing-masing,” tuturnya.
Dampak dari penutupan itu, lanjut Nizam, jumlah perguruan tinggi di Jakarta berkurang dari 325 PTS menjadi 312 PTS pada akhir 2019. “Tahun ini jumlahnya diperkirakan bertambah. Kami akan visitasi, sambil memberi pilihan untuk merger atau tutup. Karena kasihan mahasiswanya,” ujarnya.
Ditanya nasib mahasiswa dari kampus yang tutup, Nizam mengatakan, mahasiswa dialihkan ke kampus lain. Prosesnya tidak ribet, karena umumnya jumlah mahasiswa tak banyak. “Bahkan ada kampus yang ditutup secara resmi setelah mahasiswanya habis,” ucap Nizam.
Salah satu contoh kampus yang bermerger, Nizam menyebut, antara lain Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Syailendra dengan STIE Pradita yang berubah menjadi Universitas Pradita. “Jika merger seperti ini, maka mahasiswa yang ada akan dialihkan datanya ke kampus yang baru.
Ditanya penyebab penutupan, Nizam mengatakan, ada beberapa faktor yaitu kekurangan dosen. Kampus itu ditinggalkan karena gaji yang kecil dan sering terlambat. Persoalan lainnya adalah minimnya sarana dan prasarana di kampus.
“Tapi yang paling mendasar adalah yayasan pengelola PTS maupun badan hukum penyelenggaranya sudah kehilangan gairah untuk kelangsungan bisnis dari lembaga pendidikannya,” tuturnya.
Ditanya lokasi kampus yang akan divisitasi dalam waktu dekat karena ada indikasi bermasalah, Nizam enggan menyebut. “Wilayahnya masih rahasia. Kami hanya ingin tahu sambil memberi pilihan, jika ingin melanjutkan atau tutup secara sukarela,” kata Nizam menandaskan. (Tri Wahyuni)