Setelah NU dan Muhammadiyah, Kini PGRI Nyatakan Keluar dari POP

0
Ketua Umum PGRI, Unifah Rosyidi. (Suarakarya.co.id/Tri Wahyuni)

JAKARTA (Suara Karya): Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) memutuskan untuk mundur dari kepesertaan Program Organisasi Penggerak (POP), yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) untuk peningkatan mutu pendidikan melalui penguatan guru dan kepala sekolah.

Sebelumnya, tindakan serupa dilakukan Lembaga Pendidikan Maarif Nadhatul Ulama (NU) dan Majelis Pendidikan Muhammadiyah. Duo lembaga pendidikan terbesar di Indonesia itu menilai seleksi maupun konsep yang akan dibangun dalam POP tidak jelas.

Seperti dikemukakan Ketua Umum PGRI, Unifah Rosyidi dalam siaran pers, Jumat (24/7/20), keputusan mundur diambil sudah atas persetujuan dari anggota, pengurus di daerah dan Pengurus Besar PGRI melalui Rapat Koordinasi Bersama Pengurus PGRI Provinsi di seluruh Indonesia.

“Rakor bersama dilakukan secara daring pada Kamis (23/7) lalu. Hasil rapat memutuskan PGRI menyatakan keluar dari POP. Ada lima alasan pengunduran diri itu,” ucap Unifah.

Disebutkan, anggaran pemerintah seharusnya tidak dihambur-hamburkan di masa pandemi corona virus disease (covid-19). Pandemi itu meluluhlantakkan semua sektor kehidupan, dengan makin banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK). Kondisi itu tentu saja berimbas pada dunia pendidikan.

“PGRI berharap pemerintah memiliki sense of crisis atas dampak pandemi covid-19,” ucap Unifah menegaskan.

Ia menilai, sebaiknya dana yang jumlahnya mencapai lebih setengah triliun itu dipakai membantu siswa, guru/honorer, penyediaan infrastruktur di daerah 3T (terluar, terdepan dan terpencil) demi menunjang pembelajaran jarak jauh (PJJ) di masa pandemi saat ini.

Alasan kedua, lanjut Unifah, PGRI memandang perlu kehati-hatian dalam penggunaan anggaran POP. Karena dana itu harus dipertanggungjawabkan secara baik dan benar, berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintah. Padahal, waktu pelaksanaannya terlalu singkat.

“Kami berpendapat, POP tidak dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien karena masalah waktu. Kami mundur, guna menghindari berbagai akibat yang tidak diinginkan di kemudian hari.

Unifah menyebut alasan ketiga, yaitu kriteria pemilihan dan penetapan peserta program organisasi penggerak tidak jelas. PGRI memandang perlunya POP membuat prioritas program yang paling mendesak untuk peningkatan kompetensi dan kinerja guru.

“Jadi bukan asal buat pelatihan untuk guru dan kepala sekolah. Pentingnya dibuat penataan pengembangan dan mekanisme keprofesian guru berkelanjutan (continuing professional development),” tuturnya.

Alasan keempat adalah PGRI sebagai mitra strategis Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkomitmen terus mendukung program pemerintah dalam memajukan pendidikan nasional. Caranya, membentuk PGRI Smart Learning & Character Center (PGSLCC) dari pusat hingga ke daerah.

“Kegiatan itu memiliki berbagai program peningkatan kompetensi guru, kepala sekolah dan pengawas yang dilakukan secara massif dan terus menerus. Khususnya dalam pelaksanaan PJJ yang berkualitas.

Alasan kelima adalah PGRI berharap Kemdikbud memberi perhatian yang serius terhadap pemenuhan kekosongan guru akibat tidak adanya rekruitmen dalam 10 tahun terakhir. Selain, penuntasan penerbitan Surat Keputusan (SK) Guru Honorer yang lulus seleksi PPPK sejak awal 2019.

“Pemerintah harus membuka rekruitmen guru baru dengan memberi kesempatan kepada honorer yang memenuhi syarat, dan perhatian terhadap kesejahteraan honorer yang selama ini mengisi kekosongan guru. Mereka sangat terdampak secara ekonomi di masa pandemi ini,” ucap Unifah menandaskan. (Tri Wahyuni)