JAKARTA (Suara Karya): Pelacakan kasus tuberkolusis (TBC) di Indonesia jadi terkendala di masa pandemi. Jika tidak ditangani dengan baik, dikhawatirkan kasus TBC akan kembali ke kondisi 5-8 tahun lalu.
Kekhawatirkan itu disampaikan Mantan Direktur WHO Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama dalam peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia, Selasa (23/3/2021) yang bisa disaksikan melalui kanal Youtube resmi Kementerian Kesehatan.
Ia berharap pemerintah dapat melakukan intervensi dalam penanganan kasus TBC, berbarengan dengan covid-19. Karena gejala maupun proses penularan penyakit TBC mirip dengan corona virus disease (covid-19).
“Kondisi pandemi saat ini sebenarnya bisa dimanfaatkan pemerintah untuk memperluas pemeriksaan dari covid-19 ke TBC,” ujarnya.
Chandra mencontohkan, pasien yang memiliki gejala batuk dan demam, lalu dilakukan pemeriksaan covid-19. Bila hasilnya negatif, pasien jangan langsung dipulangkan. Tetapi lanjutkan dengan pemeriksaan untuk deteksi TBC.
“Sekarang orang bisa khawatir terkena covid-19, lalu pergi ke petugas untuk periksa. Ambil kesempatan ini, untuk periksa TBC juga,” tutur dokter paru yang juga mantan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes itu.
Chandra juga berpendapat, penggunaan masker untuk pencegahan penularan covid-19 membantu menekan penularan karena TBC. Diharapkan masyarakat menjaga kepatuhan dalam bermasker dalam kesehariannya.
Terkait hal itu, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML), Siti Nadia Tarmizi menjelaskan, Kemenkes sebenarnya telah mengeluarkan Surat Edaran dengan nomor PM.01.02/1/966/2020 pada 30 Maret 2020 tentang Protokol Pelayanan Tuberkulosis.
“Surat edaran itu mencakup kepastian pelayanan TBC tetap berjalan di masa pandemi covid-19,” ucap Nadia yang juga juru bicara Kemenkes untuk penanganan covid-19.
Dampak pandemi, lanjut Nadia, kegiatan pelacakan kontak terhambat karena di awal pandemi muncul kegiatan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Karena frekuensi pertemuan petugas dengan pasien TBC di seluruh tempat pelayanan kesehatan jadi berkurang. Persoalan lain yang ikut mempengaruhi pelacakan kasus TBC adalah pengalihan anggaran TBC untuk covid-19 hingga tataran pemerintah daerah.
“Minimnya pemahaman masyarakat soal TBC juga jadi tantangan utama,” ujarnya.
Meski secara karakteristik gejala TBC dan Covid-19 memiliki kemiripan, Siti Nadia memastikan tenaga kesehatan akan melakukan penelusuran penyakit secara menyeluruh.
“Untuk mengurangi kunjungan ke fasilitas kesehatan, kita ada pemantauan pengobatan secara elektronik melalui pesan WhatsApp atau sosial media lain serta pengaturan interval pengambilan obat,” katanya.
Pada fase pengobatan intensif, pasien TBC yang mengalami sensitif terhadap obat diberikan obat dengan interval 14-28 hari. Sedangkan fase pengobatan lanjutan diberikan dengan interval setiap 28 hingga 56 hari.
Bagi pasien TBC yang resisten terhadap obat diberikan interval setiap tujuh hari selama fase pengobatan intensif. Untuk fase pengobatan lanjutan diberikan obat dengan interval 14-28 hari.
“Kita juga melakukan penyesuaian terhadap manajemen perencanaan, sumber daya manusia dan perawatan pengobatan,” katanya.
Nadia menyebut kasus TBC terlapor sepanjang 2020 justru menurun dari yang ditargetkan. Selama 2018-2019, ada 64 persen kasus terestimasi ditemukan. Pada 2020, angkanya terbalik, hanya 30 persen yang ditemukan. Kondisi itu menjadi alarm bagi Kemenkes pada tahun ini.
KasusnTBC Indonesia pada 2020, Nadia memperkirakan masih tinggi, mencapai 845.000 kasus. Dalam situasi pandemi ini capaian Kemenkes hanya 349.549 kasus TBC ditemukan. Seorang penderita TBC positif, bisa menularkan penyakit ke 10 hingga 15 orang di sekitarnya.
Dari kasus yang ditemukan pada 2020, kata Siti Nadia, 41,4 persen di antaranya menjalani masa perawatan dan 84,4 persen dinyatakan sembuh.
Sementara dari total 8.060 pasien TBC yang terkonfirmasi mengalami resisten terhadap obat, sebanyak 56,5 persen masuk pada kriteria pengobatan lini kedua dan 40 persen dinyatakan sembuh.
Pada kasus TBC di kelompok usia anak dilaporkan sebanyak 32.251 kasus, 7.699 di antaranya TBC dengan HIV dan 12.844 dinyatakan meninggal dunia.
Persoalan lain dalam penanganan TBC terkait aktivitas pengambilan obat oleh pasien ke sejumlah fasilitas layanan kesehatan yang mengalami penurunan selama pandemi.
“Sebagian masyarakat tertunda dalam pengambilan obat karena mereka takut mendatangi faskes saat di awal pandemi, meski protokol kesehatan dilakukan di rumah sakit. Ada pemisahan (ruang pelayanan) pasien TBC dengan pasien covid-19,” katanya.
Akibatnya, kata dia, terjadi keterlambatan diagnosa TBC seiring tertundanya pengiriman sampel sputum (dahak) pasien TBC. Selain itu ada tugas ganda petugas TBC dengan tugas covid-19. (Tri Wahyuni)