
JAKARTA (Suara Karya): Lembaga Sensor Film (LSF) mencanangkan Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri (Gernas BSM). Gerakan itu mengajak masyarakat untuk mulai menanamkan budaya sensor mandiri pada anak sejak dini.
“Budaya Sensor Mandiri dijadikan sebagai gerakan nasional, karena LSF tak bisa bekerja sendiri dalam menghadapi tsunami tontonan yang diakses melalui internet,” kata Ketua LSF, Rommy Fibri Hardiyanto dalam acara Pencanangan Gernas Budaya Sensor Mandiri yang digelar secara hybrid dari Jakarta, Kamis (30/12/21).
Hadir dalam kesempatan itu, anggota Komisi X DPR, Desy Ratnasari; Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Djonny Syafruddin; produser film, Lola Amaria; Puteri Indonesia Persahabatan 2020, Rachel Elleza Coloay; serta perwakilan dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mewakili dunia pendidikan.
Rommy menyebut, saat ini ada sekitar 202 juta pengguna internet di Indonesia. Dari jumlah itu, ada sekitar 66 juta orang mengakses tontonan dari internet melalui layanan over the top (OTT), VoD (Video on Demand) dan media sosial.
“RCTI memiliki paling banyak OTT dengan jumlah penonton mencapai 20 juta orang. Kedua ditempati MNC dan posisi ketiga Video.com. Sedangkan pelanggan Viu ada 2,9 juta dan Neflix ada 2,6 juta,” ujarnya.
Melihat kenaikan jumlah penonton jaringan informatika, Rommy menambahkan, Budaya Sensor Mandiri harus semakin digencarkan, sehingga masyarakat mampu memilah dan memilih tontonan sesuai usia, baik yang berbayar maupun tidak berbayar.
“Tumbuh dan mengakarnya gerakan ini tergantung pada peran orangtua, keluarga, dan lingkungan sekitar sebagai penyaring utama dalam menentukan tontonan, mana yang layak atau tidak untuk dikonsumsi,” ujarnya.
Ditegaskan, LSF melakukan upaya itu sebagai bagian dari tugas melindungi masyarakat dari dampak negatif yang timbul dari peredaran dan pertunjukan film dan iklan film. Hal itu termaktub dalam Undang-Undang (UU) No 33 Tahun 2009 tentang Perfilman.
“Jika tidak dibekali dengan sensor mandiri, maka sangat disayangkan untuk anak cucu kita. Kesadaran untuk memilah memilih tontonan perlu ditanamkan sedari dini,” ujarnya.
Wujud nyata LSF dalam menggaungkan sensor mandiri sebagai bagian dari budaya di masyarakat dilakukan melalui berbagai langkah. Diantaranya, sosialisasi melalui berbagai media seperti webinar, talkshow dan desa sensor mandiri.
“LSF juga memperkuat sinergi dengan mengadakan MoU (Nota Kesepahaman) anatar LSF dengan berbagai perguruan tinggi baik negeri maupun swasta dan beberapa instansi dan lembaga,” kata Febri.
Upaya LSF itu mendapat dukungan dari Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Viada Hafid, yang hadir secara daring. Ia menilai pencanangan Budaya Sensor Mandiri dapat menjadi keberlanjutan tolok ukur bagi perkembangan dunia perfilman nasional yang lebih bijak dan berkualitas.
“Lembaga Sensor Film juga harus mampu mengharmonisasikan stakeholder perfilman untuk mau ikut menggalakkan sensor mandiri,” ujarnya.
Adapun Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri melalui inisiasi dan akselerasi Catur Aksi Budaya Sensor Mandiri, disebutkan, antara lain Masifikasi Kampanye Sosialisasi Budaya Sensor Mandiri; Akselerasi pembentukan Desa Sensor Mandiri; Penelitian dan Riset Budaya Sensor Mandiri; Kerjasama antar lembaga dan penguatan Komunitas Sahabat Sensor Mandiri. (Tri Wahyuni)