Suara Karya

Soal KRIS, Kemkes: Tak Ada Penghapusan Kelas Rawat Inap di Rumah Sakit!

JAKARTA (Suara Karya): Jubir Kementerian Kesehatan (Kemkes), Mohammad Syahril menegaskan, tak ada penghapusan kelas rawat inap di rumah sakit, terkait penerapan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dalam pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

“Penerapan kelas perawatan 1,2 dan 3 di rumah sakit tetap, karena ada pasien non-BPJS Kesehatan,” kata Syahril dalam jumpa pers terkait implementasi Peraturan Presiden (Perpres) No 59 Tahun 2024, di Jakarta, Rabu (15/5/24).

Syahril dalam kesempatan itu didampingi Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan, Kemkes, Ahmad Irsan Moeis; Asisten Deputi Komunikasi Publik dan Humas, BPJS Kesehatan, Rizzky Anugrah; dan Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, Kemkes, Siti Nadia Tarmizi.

Seperti diberitakan sebelumnya, Presiden Joko Widodo ingin peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mendapat pelayanan yang sama. Untuk itu diterapkan KRIS dalam pelayanan yang dikelola BPJS Kesehatan.

Dalam KRIS tidak ada lagi pengelompokan ruang rawat inap berdasarkan kelas 1, 2, 3 yang selama ini berlaku di BPJS Kesehatan. Seluruh peserta JKN akan mendapat pelayanan yang sama, yaitu KRIS.

Perubahan itu termuat dalam Perpres Nomor 59 tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga, atas Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Sistem KRIS tersebut akan diterapkan di semua rumah sakit pemerintah maupun swasta mitra BPJS paling lambat 30 Juni 2025. Untuk rumah sakit pemerintah, ketersediaan KRIS adalah 60 persen dari total layanan rawat inap.

“Di rumah sakit swasta, penerapan KRIS minimal 40 persen dari total layanan rawat inap. Diharapkan, rumah sakit swasta mitra BPJS Kesehatan mulai berbenah untuk memenuhi aturan tersebut,” katanya.

Ditanya kemungkinan terjadinya kenaikan iuran setelah penerapan KRIS, mantan Plt Dirut RSUP Fatmawati itu mengatakan, belum ada bahasan terkait iuran. Karena masih menunggu hasil evaluasi penerapan KRIS di rumah sakit mitra BPJS Kesehatan.

Evaluasi akan dilakukan dengan koordinasi bersama dengan BPJS Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional, dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

Hasil evaluasi dan koordinasi fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap nantinya akanmenjadi dasar penetapan manfaat, tarif dan iuran.

Merujuk pada Perpres 59 tahun 2024, KRIS didefinisikan sebagai standar minimum pelayanan rawat inap yang diterima peserta JKN. Sebagaimana diketahui, BPJS saat ini menerapkan sistem kelas 1, 2 dan 3 berdasarkan besaran iuran dan kualitas ruang perawatan yang menjadi haknya.

Soal ruang perawatan KRIS yang termuat dalam Pasal 46A Perpres 59/2024 harus memenuhi 12 kriteria, yaitu komponen bangunan tidak boleh memiliki tingkat porositas yang tinggi; ventilasi udara harus bagus; pencahayaan ruangan; kelengkapan tempat tidur; nakas per tempat tidur; temperatur ruangan menggunakan air conditioning (AC).

Selain itu, ruang rawat dibagi berdasarkan jenis kelamin, anak atau dewasa, serta penyakit infeksi atau noninfeksi; kepadatan ruang rawat maksimal 4 tempat tidur; tirai/partisi antar tempat tidur; kamar mandi dalam ruangan rawat inap; kamar mandi memenuhi standar aksesibilitas; dan outlet oksigen untuk setiap pasien.

“Dalam KRIS, tempat tidur dalam ruangan bisa 2, 3 atau maksimal 4. Jadi gak semua harus 4 tempat tidur. Jika rumah sakit ada kamar dengan 2 tempat tidur yang kosong, bisa dirawat di ruangan tersebut,” tuturnya.

Peraturan Presiden No 59 Tahun 2024 juga mengamanatkan sistem KRIS diberlakukan secara bertahap. Pemerintah memberi tenggat waktu paling lambat 30 Juni 3025 di semua rumah sakit di Indonesia yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.

Meski ada KRIS, lanjut Syahril, pemerintah tetap membolehkan peserta untuk meningkatkan ruang rawat yang lebih tinggi dari haknya, termasuk rawat jalan eksekutif dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan.

Peserta juga bisa meningkatkan pelayanan dengan membayar selisih antara biaya yang dijamin BPJS Kesehatan, dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan pelayanan tersebut.

‘Selisih antara biaya yang dijamin BPJS Kesehatan dengan biaya akibat peningkatan pelayanan dapat dibayar peserta atau pemberi kerja, atau asuransi kesehatan tambahan,” katanya.

Peningkatan layanan tersebut tidak berlaku bagi peserta kelompok PBI (penerima biaya iuran) dan peserta Mandiri kelas 3 dan pekerja yang PHK. (Tri Wahyuni)

Related posts