
JAKARTA (Suara Karya): Hasil survei yang dilakukan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menunjukkan ada 8,27 persen guru yang menolak vaksinasi corona virus disease (covid-19). Bukan karena takut disuntik, melainkan ragu atas kualitas vaksin dan khawatir atas efek samping.
Hal itu dikemukakan Sekjen FSGI, Heru Purnomo dalam pemaparan hasil survey singkat yang dilakukan FSGI bertajuk ‘Persepsi Guru atas Program Vaksinasi’ secara virtual, Rabu (17/3/2021).
Heru menjelaskan, survei itu diikuti 2.406 guru yang tersebar di 23 provinsi di Indonesia. Hasil survei menunjukkan, 91,73 persen guru bersedia ikut vaksinasi dan 8,27 persen guru menolak vaksinasi denan alasan khawatir atas efek samping dan ragu pada kualitas vaksin.
Jumlah 2.406 guru itu berasal dari jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) dan Taman Kanak-kanak (TK) sebanyak 6,28 persen, Sekolah Dasar (SD) 50,5 persen, Sekolah Menengah Pertama (SMP) 37,2 persen dan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat 5,99 persen.
Untuk usia guru, Heru menyebut, berada pada rentang 20-59 tahun. Rinciannya, usia 20-29 tahun sebanyak 17,62 persen, usia 30-39 tahun sebanyak 22,69 persen, usia 40-49 tahun sebanyak 20,57 persen dan dominasi oleh guru SMA sederajat sebanyak 39,11 persen.
Ditanya apakah guru tahu informasi program vaksinasi untuk guru, mayoritas atau 94,85 persen menjawab tahu atas informasi tersebut. Sementara selebihnya 4,15 persen mengaku tidak tahu.
“Ada 58,7 persen guru tahu informasi soal vaksinasi dari pengumuman sekolah. Selebihnya, yaitu dari media online 49,82 persen, media sosial 45,71 persen, Televisi/Radio 43,34 persen dan media cetak 20,16 persen,” tuturnya.
Ditambahkan, antusiasme guru ikut vaksinasi covid-19 ternyata cukup besar, yaitu 91,73 persen guru. Meski masih ada guru yang menyatakan tidak bersedia divaksinasi sebanyak 8,27 persen.
“Angka 8,27 persen itu tentunya tidak bisa dipandang remeh, mengingat target vaksinasi covid 19 bagi guru adalah bisa dilaksanakan pembelajaran tatap muka (PTM) pada awal tahun ajaran baru 2021-2022,” ujarnya.
Menurut Heru, dalam PTM tidak hanya guru dan tenaga kependidikan yang ada di sekolah, tetapi juga siswa yang hingga koni belum menjadi kelompok yang akan divaksinasi. Jika ada guru yang belum vaksinasi, ditambah siswa yang juga belum divaksinasi, maka kekebalan secara komunal di lingkungan sekolah sulit terbentuk.
“Jika ditelusuri, guru yang menolak vaksinasi kebanyakan dari luar Jawa sebanyak 24,35 persen. Sedangkan guru di Jawa sebesar 4,85 persen,” katanya.
Kondisi itu, Heru menduga paralel dengan situasi penyebaran covid-19 yang buruk di pulau Jawa dibanding daerah lainnya. Hal itu juga paralel dengan penanganan dan pencegahan covid-19 yang lebih baik di Jawa dibanding daerah lainnya di luar Jawa.
Alasan guru tidak bersedia divaksinasi, disebutkan, 63,3 persen mengaku khawatir dengan efek samping vaksin, 41,1 persen ragu dengan kualitas produk vaksin, 25,1 persen memiliki penyakit bawaan (komorbid) dan 22,1 persen guru termakan informasi negatif di media sosial.
Ada 12 persen guru yang tidak yakin karena pemberitaan yang menyebut kemungkinan tertular covid-19 pascavaksinasi, 3 persen ingin vaksinasi secara mandiri dan 0,3 persen merasa tidak takut terinfeksi covid-19.
Melihat hasil survei tersebut, FSGI dalam rekomendasinya meminta pemerintah pusat dan daerah untuk tidak menjadikan program vaksinasi covid-19 sebagai dasar pembukaan sekolah. Sebelum pastikan tersedianya prokes di sekolah.
“Selain adanya jaminan bahwa SOP Protokol Kesehatan dapat dijalankan oleh semua warga sekolah,” kata Heru menandaskan. (Tri Wahyuni)