Suara Karya

Tak Perlu Demo, PGRI Siap Perjuangkan Nasib Guru Honorer

JAKARTA (Suara Karya): Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Unifah Rosyidi akan memperjuangkan nasib guru honorer dalam proses penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) tahun ini. Karena itu, ia meminta para guru hononer untuk tak menggelar aksi demo.

“Aksi demo itu cuma bikin gaduh. Cobalah kita belajar dari pengalaman demo guru tahun lalu, aksi semacam itu tidak ada hasilnya,” kata Unifah kepada wartawan, di Jakarta, Kamis (20/9).

Dalam kesempatan itu, Unifah didampingi Sekjen PB PGRI, Qudrat Nugraha dan jajarannya.

Unifah menjelaskan, pihaknya bertemu dengan Menteri Sekretaris Negara (Mensegneg), Pratikno guna mencari solusi atas nasib guru honorer. Langkah selanjutnya, PGRI akan difasilitasi untuk berdiskusi dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan reformasi Birokrasi (Menpan-RB).

“Kami minta pada guru honorer untuk bersikap sabar. Tindakan demo itu tergolong pemaksaan kehendak. Dan itu bukanlah jalan keluar. Yang penting, harus ada win-win solution,” tuturnya.

Unifah menyebut sejumlah usulan yang akan diajukan ke pemerintah, antara lain, meminta agar rekrutmen CPNS ditunda hingga ada regulasi baru. Karena, jika mengacu pada Undang-Undang (UU) Aparatur Sipil Negara (ASN) yang mensyaratkan usia maksimal 35 tahun, maka banyak guru honorer yang tercatat di database pemerintah akan hilang kesempatan.

“Dari 157.210 guru honorer yang tercatat, hanya 13.347 guru yang boleh ikut seleksi karena usianya dibawah 35 tahun. Kebijakan ini jauh dari rasa keadilan bagi para guru honorer yang menunggu lama. Tak ada pengangkatan guru selama 10 tahun terakhir ini,” ujarnya.

Sebagai informasi, jumlah tenaga honorer K2 yang namanya tercatat di database pemerintah sebanyak 438.950 orang. Dari jumlah itu, 157.210 diantaranya adalah guru, 86 dosen, 6.091 tenaga kesehatan, 5.803 tenaga penyuluh dan 269.400 tenaga admisnitrasi.

Untuk itu, lanjur Unifah, PGRI mendesak pemerintah untuk memperpanjang batas usia dari 35 tahun menjadi hingga 45 tahun. Jika hal itu tidak memungkinkan, solusi lain berupa penerbitan Peraturan Pemerintah (Perpu) tentang Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) bagi honorer usia 35 tahun keatas.

“Aturan dalam P3K pun disederhanakan dengan pengangkatan satu kali. Jika berkali-kali dikhawatirkan akan dimanfaatkan oknum untuk memainkan kontrak secara sepihak,” kata Unifah.

Selain itu, lanjut Unifah, para guru tersebut mendapat jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan, kesempatan mengikuti sertifikasi guru. Dan bagi guru yang sudah tersertifikasi, sertifikat itu diakui untuk tunjangan profesi guru (TPG).

“Opsi lain yang bisa dilakukan pemerintah, jika usulan sebelumnya tidak bisa diterapkan adalah diterbitkannya keputusan presiden yang khusus mengatur rekrutmen tenaga honorer guru dan tenaga kependidikan,” ucap Unifah menandaskan. (Tri Wahyuni)

Related posts