
JAKARTA (Suara Karya): Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi (Ditjen Diksi) menurunkan standar persyaratan ‘upgrading’ program diploma 3 (D-3) menjadi sarjana terapan (D-4). Upaya itu sebagai respon atas kesulitan kampus dalam penerapannya.
“Memang ada beberapa syarat yang kami peringan. Karena jika tidak, hal itu akan mengancam keberhasilan program,” kata Dirjen Diksi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) Wikan Sakarinto dalam sambutan saat membuka webinar bertajuk ‘Peningkatan Program Diploma 3 Menjadi Sarjana Terapan’, Selasa (14/12/21).
Ia menyebut syarat yang diperingan itu, antara lain, kampus tidak perlu memiliki paten, mahasiswa asing dan bukti kerja sama dengan kampus luar negeri. Syarat jam kerja bagi praktisi industri yang mengajar di kampus pun dipangkas dari 50 jam per semester menjadi 20 jam per semester.
“Sebenarnya 50 jam selama 6 bulan itu tak terlalu berat untuk meningkatkan kompetensi anak bangsa. Tetapi bagaimana lagi, praktisinya keberatan dan disepakati selama 20 jam per semester,” tuturnya.
Kampus vokasi maupun perguruan tinggi yang memiliki program studi vokasi, lanjut Wikan, juga mengeluh karena syarat ‘upgrading’ lebih sulit, dibanding syarat membuat prodi baru. Padahal, fasilitas pendidikan pada program D3 sudah berjalan selama ini.
“Itulah kenapa program upgrading diploma 3 ke sarjana terapan berjalan sangat lambat. Karena kampus kesulitan memenuhi persyaratan itu,” ujar Wikan.
Padahal, peminat program sarjana terapan sangat tinggi. Penerimaan mahasiswa baru tahun lalu, ketersediaan kursi dengan jumlah peminat program D4 adalah 1 berbanding 100. Sedangkan di program D3 adalah 1 kursi diperebutkan 10-15 orang.
“Ini seharusnya jadi momentum bagi kampus vokasi untuk segera merealisasikan upgrading program D3 ke D4, karena permintaan yang besar,” ucapnya.
Keberadaan program D4 menjadi penting, menurut Wikan, karena peminat pendidikan vokasi tak perlu lagi melanjutkan kuliah untuk menjadi sarjana, seperti banyak dilakukan lulusan program D3 selama ini. “Karena melanjutkan kuliah S1, disela-sela waktu kerja itu melelahkan, buang tenaga, uang dan waktu,” ujarnya.
Wikan menjelaskan, upgrading D3 ke sarjana terapan melampirkan sejumlah syarat agar kompetensi lulusannya melebihi seorang lulusan D3. Untuk itu, dibutuhkan syarat akademik dan lainnya yang mendukung.
Membuat program sarjana terapan, diakui Wikan, membutuhkan usaha yang ‘setengah mati’, karena programnya harus link&match dengan industri. Hal itu termasuk kurikulum, magang dan kesempatan kerja di industri,” ujarnya.
Ditambahkan, pembelajaran juga harus ‘project based learning’ yang benaran mengerjakan proyek komersil, bukan proyek abal-abal semata demi memenuhi persyaratan tersebut. “Dengan syarat seperti itu, kami ingin kompetensi sarjana terapan benar-benar mumpuni, tak ‘jual’ ijazah,” ucapnya menegaskan.
Wikan berharap keringanan syarat itu tak membuat penyelenggaraan program sarjana terapan jadi seadanya. Lulusan harus memiliki kompetensi diatas kemampuan seorang lulusan D3. Dengan demikian, sarjana terapan menjadi pilihan utama para lulusan sekolah menengah.
“Hampir 99 persen anak dosen Sekolah Vokasi UGM kuliah di kampus akademik. Itu artinya, kompetensi lulusan vokasi belum bisa menyakinkan dosen yang sehari-hari bergelut dengan pendidikan vokasi,” kata mantan Dekan Sekolah Vokasi UGM itu mengungkapkan.
Ia mengungkapkan, program upgrading diploma 3 ke sarjana terapan yang diluncurkan 2 tahun lalu, sebenarnya kurang didukung Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Karena proses upgrading akan menurunkan status akreditasi yang sudah diperoleh perguruan tinggi selama ini.
“Yang pasti, akreditasinya turun. Karena prodi itu terbilang dihitung baru dan dianggap belum punya lulusan,” kata Wikan menandaskan.
Kendati demikian, lanjut Wikan, rencana upgrading D3 ke D4 akan terus berlanjut. “Berbagai perbaikan dilakukan agar program tersebut sejalan dengan kondisi di lapangan. Diharapkan nantinya bisa tercipta lulusan sarjana terapan yang mumpuni dan dicari-cari industri,” ucapnya. (Tri Wahyuni)