JAKARTA (Suara Karya): Sejumlah tokoh relawan Jokowi dari Jawa Timur mengajukan permohonan pengujian Pasal 10 dan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU Mahkamah Konstitusi) terhadap Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Mereka beranggapan, sebagai warga negara yang cinta konstitusi memiliki kepentingan untuk mengawasi jalannya proses persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) dan berhak atas putusan yang pasti dan seadil-adilnya secara hukum.
Selain itu, putusan mahkamah juga harus bebas dari masalah yang mengancam independensi, imparsialitas, dan integritas Hakim Konstitusi pada saat pengambilan keputusan, karena Putusan Mahkamah akan mengikat secara umum (erga omnes) dan berpengaruh kepada seluruhan tatanan sistem hukum Indonesia.
Menurut Sugeng Nugroho salah satu pemohon menyatakan, putusan MK Nomor 90 / PUU –XXI / 2023 “patut diduga ada pelanggaran etik serta kejanggalan praktik yang dilakukan oleh salah satu atau beberapa Hakim Konstitusi dalam rangkaian pengambilan keputusan pada perkara-perkara di Mahkamah Konstitusi, yang menunjukan pelanggaran terhadap prinsip independensi dan imparsialitas tersebut.
“Hal ini tentunya mencederai hak konstitusional para pemohon sebagai warga negara berhak atas keadilan dan kepastian hukum sesuai Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ini berkaitan dengan amar putusan MK Nomor 90 / PUU – XXI/ 2023 yang menyimpulkan bahwa seakan-akan ada 5 (lima) orang hakim mengabulkan dan 4 (empat) orang hakim menolak permohonan batasan usia Capres dan Cawapres di bawah 40 tahun,” kata Sugeng melalui keterangan tertulisnya, Jumat (27/10/2023).
Sementara itu, Azeem Marhendra Amedi pemohon lainnya menyebutkan. Merujuk pada definisi dari Legal Information Institute Cornell University, arti dari concurring reason harus dimaknai bahwa hakim yang menyampaikan concurring reason itu setuju (agree) terhadap mayoritas hakim yang lain, yang dalam hal ini Hakim Saldi Isra, Hakim Arief Hidayat dan dua Hakim yang menolak permohonan lainnya, dan bukannya dianggap setuju dengan Hakim Anwar Usman dan dua orang hakim lainnya yang mengabulkan.
“Menurut para pemohon, penarikan kesimpulan dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi yang menganggap Concurring Opinion itu setuju pada hakim yang mengabulkan permohonan, dan itu adalah kesesatan atau penyesatan penyimpulan,” kata Azeem
Pemohon ketiga yakni Teguh Prihandoko, yang juga Alumni FE Unair menyatakan bahwa terdapat fakta yang tidak terbantahkan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman memiliki hubungan keluarga besar dengan seseorang bernama Gibran Rakabuming Raka yang setelah Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut dibacakan kemudian diusulkan dan ditetapkan sebagai calon wakil presiden dari partai dan kumpulan artai-partai yang diuntungkan dengan adanya Amar Putusan yang telah dibacakan.
“Hakim Anwar Usman itu track recordnya telah lama mengabdi di lingkungan Mahkamah Agung sebelum menjadi Hakim Mahkamah Konstitusi. Seharusnya dia telah memahami etika untuk mundur / tidak terlibat dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan karena adanya Conflict of Interest. Dan bahkan dalam kedudukannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi harusnya memberikan keteladanan sebagai seorang yang dianggap negarawan, bukan sebaliknya melakukan perbuatan yang merongrong kewibawaan Mahkamah Konstitusi,” ujarnya. (Boy)