Oleh: Yudhiarma MK, M.Si,
Indonesia sudah memasuki fase darurat pornografi. Kemajuan teknologi telah menghancurkan tapal batas ranah pribadi dan ruang publik. Diperparah lagi oleh budaya keterbukaan dan kebebasan yang merambah atmosfer kehidupan berbangsa.
Seperti dilema yang melanda artis yang terjerat prostitusi online. Setelah menangis-nangis di penjara seakan-akan kapok dan ingin bertaubat, saat keluar ia justru membuat banyak orang terkaget-kaget. Bukan insaf, ia justru semakin menggila dengan mengumbar eksotisme ke khalayak melalui media sosial.
Ditambah lagi pemikiran liberal Abdul Aziz. Disertasi dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, tentang “kehalalan” seks di luar nikah yang mengguncang jagat republik karena menuai kontroversi. Hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan PP Muhammadiyah berkomentar keras dan menyebut bahwa cendekiawan Suriah Muhammad Syahrur, sang pencetus konsep tersebut yang diulas Aziz dalam ujian doktoralnya, bukan ulama.
Diperparah lagi pemberitaan media yang marak tentang perilaku aneh para suami yang tega menjual istri melalui medsos, keluarga yang membuka layanan pornografi dan pornoaksi berbayar untuk anak-anak, penyebaran video mesum oknum siswa-siswi SMA dan mahasiswa, dan sebagainya.
Fakta-fakta ini mirip fenomena era 1960-an di Amerika dan Eropa, ketika kaum muda menggugat norma-norma generasi tua eks Perang Dunia II. Mereka menuntut kebebasan dalam menentukan jalan hidup sendiri.
Pada 1968 di Jerman, melalui film “Das Wunder der Liebe”, Oswald Kolle mengangkat tema kebebasan seksual ke layar lebar. Sinema pertama yang diproduksi hitam putih dan format berwarna pada jilid kedua ini, memicu perdebatan sengit di Barat.
Inilah yang disebut revolusi birahi (sexual revolution): sebuah gerakan menantang dan menentang nilai seksualitas tradisional dan hubungan interpersonal konservatif yang kala itu dianggap sudah tertinggal zaman.
Menurut Wikipedia.org, gerakan ini memperjuangkan kebebasan seksual yang menuntut hubungan heterogen antarmanusia, antipernikahan resmi dan penggunaan kontrasepsi lebih fleksibel dan setara bagi pria dan wanita. Termasuk, memperjuangkan premarital sex, eksistensi LGBT dan legalisasi aborsi.
Revolusi yang mayoritas dipelopori para korban represi seksual ini, semakin mendapatkan momentum dengan kemunculan buku-buku best seller karya Wilhelm Reich, D.H. Lawrence, Sigmund Freud, yang turut mendukung gerakan tersebut.
Kaum revolusioner ini meyakini bahwa erotika seharusnya dirayakan sebagai sebuah bentuk aktivitas normal manusia, yang dilakukan sehari-hari dan bukanlah hal tabu dan tertekan oleh norma agama, budaya, keluarga, moralitas dan peraturan-peraturan yang dibuat pemerintah.
Revolusi ini memacu dan memicu banyak perubahan dan menginspirasi Hugh Hefner mendirikan Playboy: majalah porno yang mengguncang dunia. Di sisi lain, pada tahun-tahun tersebut, angka pernikahan turun drastis dan jumlah perceraian naik secara dramatis. Dan statistik menunjukkan, penduduk Amerika yang memilih untuk tidak menikah, meningkat dua kali lipat.
Idi Subandi Ibrahim pernah menyunting dua kumpulan tulisan tentang kebudayaan massa di Indonesia dalam Hegemoni Budaya dan Ecstasy Gaya Hidup. Buku terbitan perdana Mizan pada 1997 ini, memetakan problem moralitas, terutama soal revolusi seksual.
Banyak artikel yang ditulis para cendekiawan ini, seperti mengarah pada kesimpulan bahwa sekolompok masyarakat di negeri ini mulai terjebak untuk memaklumi bahwa globalisasi, termasuk soal seks, merupakan arus utama dunia yang tak mungkin dibendung.
Selain berdampak positif, globalisasi terkadang memang merisaukan. Sebagai analog, coba simak fakta berikut ini. Seorang selebritas di AS pernah bereksperimen tinggal di rumah kaca. Segala aktivitas sejak tidur, bangun, buang air, mandi, sampai tidur lagi, terlihat transparan tanpa tedeng aling-aling. Nah, tempat tinggal yang semula menjadi ruang privat untuk menyimpan aneka privasi, tanpa sengaja menjelma menjadi ruang terbuka yang bisa menjadi tontonan publik.
“Inilah era the end of secret,” kata Jean Baudrillard. Ketika “tabir” dihancurkan, cara manusia memaknai diri terhadap kehadiran orang lain pun mendadak berubah. Tabu-tabu institusi rumah tangga tradisional didekonstruksi menjadi citra-citra seksualitas eksplisit. Simbol-simbol birahi dikonsumsi untuk mengisi kepuasan para pemimpi kenikmatan sesaat. Fantasi yang semakin menjauhkan dari irama kehidupan yang semula memuat makna-makna luhur.
Seolah-olah tak hanya di jagat politik, eforia demokratisasi juga merambah dunia seksual. Atas dasar suka sama suka, banyak individu perlahan-lahan mulai menyatakan kemerdekaan dalam memilih gaya, cara dan pasangan dalam pemuasan kebutuhan biologisnya. Padahal Erich Fromm dalam Escape From Freedom menyebut, manusia membangun peradaban yang sarat aturan setelah lari dari “dilema kebebasan”. Sebab, kebebasan yang semula eksis hampir tanpa batas justru mengancam keberlangsungan kehidupan dan kemanusiaan.
Akselerasi seks berkembang tak terbatas hanya pada hubungan reproduksi, yakni soal bagaimana mengatur keturunan atau kepantasan dalam mencapai kepuasan batin (sexual intercourse). Wacana seksualitas bergerak secara revolusioner dan merasuk ke ruang liar bernama komodifikasi hiburan, di mana setiap orang tak perlu lagi bersusah payah mencari realitas seks rekreatif.
Lantas, apa yang salah dengan kehidupan bangsa, manakala pesta seks remaja terjadi di banyak tempat yang diungkap media beberapa waktu lalu. Atau, rekaman-rekaman video porno para mahasiswa, pemerkosaan oleh anak ingusan sampai foto-foto cabul pelajar yang banyak beredar di internet dan media sosial. Maka, “jangan main-main dengan kelaminmu,” kata cerpenis Jenar Mahesa Ayu. Tanpa sadar, fakta tersebut menunjukkan bahwa bangsa ini telah terjebak dalam “tragedi revolusi birahi”: darurat pornografi dan pornoaksi.
Dalam upaya membendung arus deras informasi, kini rumah-rumah tak lagi punya tembok, pintu dan jendela. Siapa yang bisa menghentikan pengaruh kecanggihan teknologi: kamera foto dan video ponsel pintar, jaringan internet, komputer-komputer canggih yang masuk dan membanjiri ruang-ruang pribadi.
Dalam skala sejarah, Alvin Toffler (The Third Wave, 1980) mengungkapkan bahwa sekarang manusia berada di tengah ledakan teknologi informasi. Peranti-peranti brilian itu datang saat gelombang peradaban pertama (agrikultural) masih mentradisi dan second wave (era industri) sedang berlangsung, sehingga mengubah secara drastis sosiosfer dan psikosfer manusia di negara-negara dunia ketiga.
Baudrillard menggambarkan, perkembangan produksi komoditas yang dirangkai dengan teknologi informasi telah menggiring ke arah penghancuran bilik-bilik privat. Sebagai contoh, budaya konsultasi seks, tips-tips berhubungan intim, grup medsos dengan konten-konten “panas”, sosialisasi alat kontrasepsi cuma-cuma, iklan-iklan prostitusi daring dan sebagainya. Segala kerahasiaan telah dimediakan, dari aib (secret) menjadi samudera entertainment.
Masih menurut Idi Subandi, media adalah wujud perluasan manusia: pelebaran dari totalitas kedirian insani hingga detail-detail tubuh dan aktivitasnya yang paling rahasia. (Marshall McLuhan, Understanding Media: The Extension of Man, 1964).
Maka, ketika sesuatu dimediakan, pada saat yang sama sebenarnya manusia sedang didehumanisasikan. Manakala seluruh elemen privasi telah direpresentasikan oleh dan dalam media, tak ayal, apapun justifikasinya, ia berarti dipertontonkan dan dibuat massal sebagai konsumsi publik.
Demikian pula dengan seks, bergeser secara revolusioner dari wilayah pribadi ke public sphere. Di sisi lain, globalisasi memungkinkan seksualitas dimaknai ulang dan bahkan menjadi arena perebutan pemaknaan eksistensi dan jati diri.
Sigmund Freud melahirkan teori psikoanalisis yang masyhur akibat didorong oleh kebanyakan orang yang mengalami stres, depresi bahkan sampai bunuh diri, karena tak tahan hidup dalam dualisme seksual. Pada satu sisi, secara alamiah mereka merasakan hasratnya menuntut penyaluran. Di pihak lain, hasrat itu terhalang tuntutan dan batasan norma dan moral di masyarakat.
Meski demikian, ketika ruang privat mencapai titik balik yang memprihatinkan bagi moralitas, saat kreativitas dan keindahan seni ditunggangi obsenitas (kecabulan), maka norma-norma keluarga kian terancam. Tirai-tirai dan dinding sensor telah ambruk.
Secara sosio-kultural bahkan moral-psikologis anak-anak bangsa tak lagi punya “benteng” dalam memilterisasi arus negatif budaya. Sebagai konsekuensi, orang dengan HIV/AIDS (ODHA), kasus aborsi, perkosaan, hamil di luar nikah, keretakan rumah tangga akibat perselingkuhan dan sejenisnya, meningkat tajam.
Sebagai contoh, konsultan masalah keperempuanan, Budi Wahyuni pernah mengatakan, problem kehamilan remaja yang ditanganinya di Yogyakarta bisa mencapai 40-60 kasus per bulan. Maka tak salah, bila antropolog Kris Budiman dalam seminar seks di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, beberapa tahun lalu, menyebut fenomena ini sebagai revolusi seks.
Data menunjukkan, usia produktif saat ini diperkirakan mencapai 30 persen laki-laki dan 20 persen perempuan. Dari jumlah itu, pada 2017 pengguna internet Indonesia usia 13-18 tahun mencapai 54,8 persen yang tersebar di beberapa wilayah seperti Kalimantan, Sulawesi, Bali, Jawa, Maluku dan Papua. Jika diklasifikasi, media sosial menjadi ranking tertinggi dalam penggunaan internet masyarakat. Dan ironisnya, sebelum ditertibkan, terdapat 4,2 juta lebih situs porno, 28 ribu orang per hari mengaksesnya, di mana setengah di antaranya adalah pornografi anak.
Terkait hal ini, apa yang dilakukan Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Dirjen Aptika) Kemenkominfo, patut diapresiasi. Lembaga ini tak henti mengampanyekan pemberantasan penyebaran konten pornografi dengan menggalakkan program literasi digital mengenai penggunaan internet secara tepat dan positif. Harapannya, ke depan masyarakat Indonesia bisa bertransformasi total ke era digital dan memanfaatkan segala sesuatu menjadi yang produktif dengan ide-ide kreatif dan inovatif.
Dirjen Aptika Kemenkominfo Semuel Abrijani Pangerapan, mengungkapkan, saat ini penyebaran konten pornografi melaui media internet telah berkembang menjadi aktivitas yang mengarah ke pornoaksi. Dia juga menyampaikan, tantangan yang dihadapi kini adalah penyebaran konten melalui perpesanan pribadi (private messaging). Hal tersebut menjadi persoalan, baik bagi Kemenkominfo dan masyarakat, yang peduli karena akan lebih sulit pengawasannya.
Untuk mengurangi peredaran konten pornografi, Kemenkominfo pun telah memberlakukan kebijakan penapisan dan menemukan lebih dari 1 juta website yang mempromosikan konten pornografi. Bahkan, sejak Agustus 2018, Kemenkomnifo telah menerapkan metode Forced Save Search Engine untuk membuat pencarian hal-hal berbau porno di internet menjadi tidak berjalan.
Sejak 6 Agustus 2018, Kemenkominfo bekerja sama dengan operator telekomunikasi dan Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII), telah mulai menapis konten pornografi dalam fitur pencarian aman laman di internet (safe search), terutama melalui Google. Upaya tersebut dilakukan untuk menekan beredarnya pornografi melalui media internet.
Selain itu, salah satu cara mengimbangi sex revolution antara lain mengampanyekan dan menegakkan supremasi hukum, karena sudah ada UU Pornografi. Kemudian, penyuluhan dan pendidikan seks dan moralitas, pendalaman nilai-nilai agama dan mengampanyekan “solusi AB” (abstinence dan be faithful). Yakni, mengharuskan mereka yang menikah untuk “berpantang seks” (abstinence). Jika married, harus setia (be faithful) pada satu pasangan secara permanen.
Meski demikian, kasus pornografi dan dampak destruktifnya memang bagaikan gunung es. Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pada 2018, kasus kekerasan seksual mencapai 20 ribu lebih, 11 ribu di antaranya terjadi di Jawa. Selamat datang di era “revolusi birahi”. Waspadalah.
Penulis adalah Alumni Pasca Sarjana Universitas Indonesia (UI)