Suara Karya

Kurangi Sampah Plastik, Menkes Kampanyekan Penggunaan Tumbler

JAKARTA (Suara Karya): Menteri Kesehatan (Menkes) Nila FA Moeloek kampanyekan penggunaan tumbler (botol minum isi ulang) di lingkungan kerjanya. Upaya itu dilakukan untuk mengurangi terjadinya sampah botol plastik.

“Mulai awal 2019 ini, kami biasakan rapat tak disediakan botol plastik. Setiap orang membawa tumbler-nya sendiri,” kata Nila disela jumpa pers bertajuk “4 Tahun Penguatan Layanan Kesehatan Masyarakat” di Jakarta, Kamis (10/1/2019).

Menkes berharap, budaya sehat itu bisa ditularkan ke seluruh kantor kementerian dan lembaga pemerintah. Hal itu akan menjadi contoh bagi masyarakat untuk berubah. “Kita mulai dari yang hal yang kecil dulu, seperti meniadakan sampah botol plastik. Lalu, berlanjut ke plastik belanjaan. Ganti dengan membawa tas dari bahan kain,” tuturnya.

Menurut Menkes, limbah plastik jika tidak dikendalikan dari sekarang tidak mengganggu lingkungan, tetapi juga kesehatan. Karena bahan plastik sulit diurai oleh alam. Jika dibakar, bahan plastik bisa menimbulkan residu yang berdampak pada kesehatan.

“Residunya bersifat karsinogenik, yang memicu terjadinya kanker,” ucapnya.

Ditanya maraknya penjualan minuman dalam botol dengan kadar gula tinggi yang berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan, Menkes mengatakan, pihaknya sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 30 Tahun 2013 tentang batasan penggunaan gula, garam dan lemak dalam makanan siap saji.

“Peraturan tersebut hingga kini belum diterapkan secara optimal. Pasalnya, masalah ini bukan ranah Kemkes sepenuhnya. Banyak pihak yang terlibat mulai dari Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika. Perlu upaya bersama,” tuturnya.

Menkes mengakui, banyak anak Indonesia yang menggemari minuman manis dalam botol. Jika tidak dikendalikan dari sekarang, dikhawatirkan anak yang mengalami obesitas akan semakin bertambah. “Dan yang tak kalah penting adalah pemakaan gula berlebih bisa menimbulkan diabetes. Ini yang berbahaya,” katanya.

Dalam pemaparannya, Menkes menyoroti masalah kesehatan ibu dan anak. Mengingat angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih tinggi. Meski AKI dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mengalami penurunan yang cukup signifikan.

“Tak hanya AKI yang ingin kita turunkan, tetapi juga angka anak yang lahir stunting (pendek) karena kurang gizi. Perlu kerja keras agar angka stunting bisa dikurangi. Karena saat ini tercatat ada 3 dari 10 anak di Indonesia yang lahir stunting,” katanya.

Padahal, lanjut Menkes, badan Kesehatan Dunia WHO hanya memperkenankan 2 dari 10 anak yang lahir stunting. “Kalau bisa kita di bawah itu. Tidak ada lagi anak yang kekurangan gizi,” katanya.

Dijelaskan, kondisi stunting pada anak tak hanya berdampak pada fisik, tetapi juga kecerdasan anak. Bahkan ke depannya, anak yang stunting juga berpotensi mengalami penyakit tidak menular (PTM) seperti penyakit jantung, diabetes, obesitas, dan stroke. (Tri Wahyuni)

Related posts