
JAKARTA (Suara Karya): Lembaga Sensor Film (LSF) berkolaborasi dengan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) siap gencarakan Budaya Sensor Mandiri (BSM) di masyarakat. Upaya itu penting, karena rumah-rumah di Indonesia kini diterjang ‘tsunami’ tontonan, baik yang berbayar maupun gratisan.
“Tsunami tontonan itu masuk ke rumah tanpa ada filternya sama sekali. Untuk itu, pentingnya budaya sensor mandiri tumbuh di masyarakat,” kata Ketua LSF, Rommy Fibri Hardiyanto di Jakarta, Selasa (25/5/21).
Pernyataan Rommy disampaikan usai penandatanganan kerja sama LSF dan KPID DKI Jakarta, yang diwakilkan Komisioner Thomas Bambang Pamungkas.
Rommy menjelaskan, kerja sama LSF dengan KPID merupakan tindak lanjut dari kolaborasi yang sedang dibangun bersama KPI Pusat sejak 3 bulan lalu. Diharapkan, kerja sama dua lembaga tersebut dapat memperkuat pengawasan atas konten-konten yang ditayangkan di televisi.
“Kolaborasi LSF dan KPI harus dilakukan karena pekerjaan yang dilakukan saling melengkapi. LSF melakukan pengawasan sebelum ditayangkan lewat kegiatan sensor, sedangkan KPI bekerja setelah tontonan itu ditayangkan. Meski kerjanya beda, tapi domain kita sama yaitu tayangan di televisi,” tuturnya.
KPI dalam bekerja menggunakan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) Tahun 2012 dan merujuk pada UU Penyiaran. Sedangkan LSF menggunakan UU Perfilman yang merujuk pada aturan yang ada dalam perfilman.
Karena menggunakan rujukan yang berbeda, menurut Rommy, hasil akhirnya biasanya akan beda. KPI memakai pendekatan ‘scene by scene’, sedangkan LSF dengan pendekatan konteks.
“Jika ada satu tayangan anak memarahi ibunya. Kalau pakai pendekatan KPI, pasti tak bisa tayang. Tapi kalau di LSF, masih boleh tayang karena pendekatannya konteks. Kenapa si anak melakukan itu. Apakah scene itu akhirnya membuat anak tobat. Itu yang dilihat,” ujarnya.
Karena menggunakan pendekatan yang berbeda, lanjut Rommy, kedua lembaga perlu bersinergi agar tayangan yang dihasilkan sesuai peraturan, tetapi tetap terlihat alami. Tidak terlihat adanya kejanggalan dalam tayangan, akibat banyak adegam yang terpotong-potong.
Ditayangkan tayangan yang disensor termasuk iklan, Rommy mengemukakan, merujuk pada UU Penyiaran maka semua yang tayang di televisi itu wajib disensor, kecuali siaran langsung (live) dan berita (news).
Soal budaya sensor mandiri, Rommy menjelaskan, kemampuan masyarakat dalam memilah dan memilih tontonan sesuai klasifikasi usia. Upaya itu memberi literasi dan informasi kepada publik tentang cara menonton tayangan yg baik dan benar.
“Budaya sensor mandiri ini harus ditanamkan di kalangan muda. Karena mereka itu tidak bisa dilarang-larang. Semakin dilarang, anak justru mencari dan ingin melihat tontonan itu. Jalan keluarnya adalah memberi literasi seputar tontonan yang sehat kepada mereka,” ujarnya.
Tontonan yang sehat itu, menurut Rommy, harus sesuai usia. Misalkan, film secara jelas mencantumkan 17+. Itu, mereka yang dibawah 17 tahun tahu dirinya tidak boleh menonton film tersebut, baik sedang bersama teman maupun saat sendirian.
“Kesadaran diri semacam itulah yang akan dibangun dalam budaya sensor mandiri. Upaya ini tidak mudah, apalagi anak bisa akses tayangan melalui internet dalam rumahnya,” ucap Rommy menandaskan. (Tri Wahyuni)