WHO: Setiap 40 Detik, Satu Orang Bunuh Diri Akibat Depresi

0

JAKARTA (Suara Karya): Jangan anggap enteng depresi. Pada beberapa pasien, depresi menimbulkan keinginan untuk bunuh diri. Hal itu tak mengejutkan, karena data badan kesehatan dunia WHO 2017 menunjukkan setiap 40 detik ada 1 orang bunuh diri akibat depresi.

“Bahkan kini banyak kasus bunuh diri terjadi tanpa ada pemicunya sama sekali, semata karena depresi,” kata Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Eka Viora SpKJ dalam konferensi pers disela acara ‘Lundbeck Regional Symposium’ di Jakarta, Sabtu (22/6/2019).

Hadir dalam acara itu, Direktur Pelaksana Lundbeck untuk wilayah Asia Tenggara, Morten Bryde Hansen, Duta Besar Denmark untuk Indonesia, Timor Leste, Papua Nugini dan ASEAN, Rasmus Abildgaard Kristensen, dan profesor klinis neuropsikiatri dari Fakultas Kedokteran Universitas South Carolina, Amerika.

Selain itu masih ada psikiatris dari Universitas Alberta, Kanada, Pratap Chokka dan Ketua Divisi Mood Disorder Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, Margarita Maramis.

Di Indonesia, lanjut Eka Viora, prevalensi penderita depresi mencapai 6,1 persen dari jumlah penduduk atau sekitar 15,6 juta orang. Angka itu diperkirakan terus bertambah setiap tahunnya. Namun disayangkan, meningkatnya penderita depresi tidak disertai pemahaman yang benar di masyarakat.

“Depresi hingga saat ini sering dilihat sebagai aib, ketimbang penyakit. Banyaknya stigma yang beredar terhadap depresi menghalangi para penderitanya mendapat dukungan yang tepat,” ucap mantan Direktur Kesehatan Jiwa, Kementerian Kesehatan.

Untuk terhindar dari depresi, menurut Eka Viora, sebenarnya mudah. Cari orang yang mau menerima curahan hatinya (curhat), tanpa perlu berkomentar apalagi menghakimi. “Sayangnya orang Indonesia tak pandai mengekspresikan diri. Semua masalah disimpan sendiri, yang dampak akhirnya jadi depresi,” katanya.

Begitupun saat orang butuh teman untuk sekedar curhat, kata Eka Viora, orang Indonesia tak suka hanya diam mendengarkan. Selalu saja ingin berkomentar, bahkan cenderung menghakimi lawan dengan mengkait-kaitkan pada agama. “Hal itu membuat depresinya semakin berat,” ucapnya.

Ditambahkan, meski manifestasi utama dari depresi adalah gangguan suasana hati yang buruk dan perasaan sedih, namun penting untuk memperhatikan gejala-gejala kognitif dan fisik yang dapat berkontribusi pada penyakitnya. Misalkan, gangguan konsentrasi, nyeri, tidak nafsu makan hingga gangguan tidur.

“Deteksi dini dan perawatan yang tepat dapat meningkatkan remisi, menghindari terjadinya kekambuhan, mengurangi beban emosi daj beban keuangan yang timbul oleh depresi,” kata Eka Viora menandaskan.

Hal senada dikemukakan Margarita Maramis. Orang dengan depresi dapat pulih sepenuhnya jika tidak ragu-ragu dalam mencari dukungan dan pengobatan. Namun sayangnya, stigma masih menghantui penderita depresi, seperti mereka enggan bersosialisasi, tidak bisa dipercaya dan membuat canggung keadaan.

“Pentingnya menghilangkan stigma pada penderita depresi, sehingga mereka mau berobat dan tak mengasingkan diri dari lingkungan. Dengan pengobatan yang benar, penderita depresi bisa pulih sepenuhnya,” kata Margarita menegaskan. (Tri Wahyuni)