Suara Karya

YLKI Nilai Model Tarif Ojek Daring Batas Atas-Bawah Tepat

Pengendara ojek daring menunggu penumpangnya di Halte Kapal Api, Tanahabang, Jakarta Pusat, Selasa (26/3/2019). Kementerian Perhubungan telah menetapkan tarif layanan ojek daring (online) dan DKI Jakarta masuk dalam Zona 2 bersama kota lainnya, yaitu Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi dengan tarif biaya jasa bawah sebesar Rp2.000. (Antara)

JAKARTA (Suara Karya): Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai, pengaturan tarif ojek daring (ojek online/ojol) dengan model tarif batas atas dan batas bawah sebagai langkah tepat.

“Batas atas untuk menjamin agar tidak terjadi eksploitasi tarif pada konsumen yang dilakukan oleh aplikator dan tarif batas bawah untuk melindungi agar tidak ada banting tarif dan atau persaingan tidak sehat antar aplikator. Jadi, ini langkah tepat,” kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi di Jakarta, Selasa (26/3/2019).

Penegasan tersebut menanggapi pengumuman kenaikan tarif ojol mulai 1 Mei 2019 oleh Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Budi Setiyadi sehari sebelumnya dengan besaran kenaikan untuk di Jabodetabek, tarif batas bawah ojol per km sebesar Rp2.000, sementara batas atasnya Rp2.500.

Menurut Tulus, dalam moda transportasi umum, model tarif semacam itu adalah hal yang lazim. Walaupun dalam hal ini status hukum ojol belum atau bukan sebagai angkutan umum.

Tulus berharap dengan regulasi ojol dan kenaikan tarif ojol maka hal tersebut harus menjamin adanya peningkatan pelayanan, khususnya dari aspek keamanan dan keselamatan. Aspek ini menjadi sangat krusial karena pada dasarnya sepeda motor adalah moda transportasi yang tingkat aspek keamanan dan keselamatan paling rendah.

Kenaikan tarif juga harus menjadi jaminan untuk turunnya perilaku yang ugal-ugalan pengemudi ojol, tidak melanggar rambu lalu lintas, tidak melawan arus dan lain sebagainya sehingga sehingga bisa menekan angka kecelakaan lalu lintas.

Ia juga mengatakan, regulasi yang baru ini, seharusnya sudah termasuk di dalamnya adalah adanya asuransi bagi pengguna ojol, seperti asuransi dari PT Jasa Rahardja.

Terkait besaran kenaikan tarif, kata Tulus, seharusnya sudah termasuk potongan 20 persen kepada aplikator. Jika kenaikan tarif itu belum termasuk untuk aplikator, maka kenaikan itu menjadi terlalu besar.

Potongan 20 persen yang dilakukan aplikator kepada pengemudi seharusnya bisa diturunkan karena dengan kenaikan tarif berarti pendapatan aplikator juga naik.

Setelah kenaikan ini, YLKI minta agar Kemenhub bersinergi dengan Kementerian Kominfo untuk melakukan pengawasan agar tidak ada pelanggaran regulasi di lapangan, baik oleh pengemudi dan atau aplikator.

Tulus menambahkan, kehadiran ojol hingga saat ini makin masif dan tak bisa dihindari dan keberadaannya sudah mencakup lebih dari 50 persen (527 lokasi) dari wilayah kabupaten kota di seluruh Indonesia, termasuk di Papua.

“Karenanya sangat diperlukan kehadiran atau intervensi negara, baik pada konteks regulasi tarif dan atau aspek operasional lainnya. Tanpa campur tangan pemerintah, dikhawatirkan akan terjadi eksploitasi hak-hak konsumen atau bahkan hak-hak pengemudi sebagai operator ojol,” katanya. (Rizal Cahyono)

Related posts