Suara Karya

25% Penonton Bioskop Belum Patuhi Klasifikasi Usia, Penitipan Anak jadi Solusi?

JAKARTA (Suara Karya): Masih ada 25 persen penonton bioskop yang belum mematuhi klasifikasi usia. Anak tetap dibawa masuk, meski tontonan untuk usia 18+.

“Alasan ketidakpatuhan itu beragam, karena anak tidak ada yang jaga di rumah, atau awalnya hanya ingin jalan-jalan lalu tertarik nonton,” kata Ketua Lembaga Sensor Film (LSF), Rommy Fibri Hardiyanto, di Jakarta, Senin (3/6/24).

Pernyataan Rommy tersebut disampaikan dalam acara pemaparan Laporan Kinerja LSF 2023 dan Sosialisasi Pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (ZI-WBK) di Lingkungan LSF.

Untuk itu, Rommy melempar usulan untuk pembuatan ruang penitipan anak untuk orangtua yang ingin menonton film 18+. Ruang berbayar itu memiliki beragam permainan dan pengasuh untuk menjaga anak tetap aman dan nyaman, selama orangtuanya menonton film.

“Semoga usulan ini didengar industri bioskop, sehingga tidak ada lagi penonton yang melanggar klasifikasi usia,” ucapnya.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua LSF, Ervan Ismail menyebut, ada 41.491 tayangan yang disensor LSF baik tayangan bioskop, TV, maupun jaringan informatika, sepanjang 2023. Angka itu meningkat dibanding tahun sebelumnya, sebanyak 40 ribu tayangan.

“Jumlah 41 ribu tayangan itu tak hanya film bioskop atau televisi, tapi banyak juga iklan-iklan berdurasi pendek. Semua permintaan penyensoran kami lakukan. Dan jumlah itu lolos sensor semua,” ujarnya.

Rommy menambahkan, LSF berupaya agar setiap tayangan yang diajukan bisa lolos sensor, melalui pendekatan dialog. Diberi alternatif pilihan, agar hal yang melanggar bisa diperbaiki, sehingga bisa lolos sensor.

“Jika ada film yang melanggar, seperti ketelanjangan, kami usulkan ganti dengan adegan lain, atau bisa dibuat blok kamera dengan menampilkan dua orang berdialog, sementara tubuh telanjang mundur ke belakang dan diblur sedikit,” ujar Rommy.

Sensor yang dilakukan LSF untuk memastikan, film yang diedarkan di masyarakat adalah film yang layak dan sesuai dengan budaya bangsa, serta tidak mengandung unsur-unsur yang bisa merusak kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Sensor penting agar masyarakat mendapat perlindungan dan hak untuk memperoleh film yang bermutu, khususnya perlindungan terhadap entitas anak dan perempuan serta peneguhan nilai-nilai hak asasi manusia,” ucapnya.

Karena itu, Rommy mengaku kecewa karena pemerintah tak kunjung mengeluarkan regulasi terkait platform OTT (Over The Top) yang mengacu pada semua layanan streaming dan konten di internet.

“Satu sisi, LSF ketat melakukan penyensoran terhadap tayangan di bioskop, televisi dan jaringan informatika lain, tapi di sisi lain OTT dengan seenaknya menayangkan adegan telanjang, LGBT dan hal-hal lainnya yang melanggar aturan,” katanya.

Rommy menambahkan, pihaknya sudah mengeluhkan keberadaan OTT kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), namun hingga kini belum keluar regulasi soal keberadaan OTT. Jika dibiarkan terus, hal itu akan mengganggu moral anak bangsa.

“Padahal para pengelola OTT itu bisa dijerat pakai UU Pornografi karena telah menayangkan ketelanjangan, seks dan LGBT,” ucap Rommy menandaskan. (Tri Wahyuni)

Related posts