JAKARTA (Suara Karya): Sekolah Politik dan Komunikasi Indonesia menggelar webinar bertema “Tantangan Populisme Digital di Indonesia” pada Rabu, 6 November 2024, melalui Zoom Meeting. Webinar ini diselenggarakan bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dan diikuti oleh masyarakat umum, terutama generasi muda.
Webinar yang berlangsung sekitar dua jam ini menghadirkan dua pembicara utama, yakni Muhammad Ramadhan (analis politik) dan Bayu M. Noor (kurator komunitas Yang Muda Yang Cemas). Diskusi berlangsung sangat antusias dan interaktif, dengan peserta yang aktif menyuarakan pendapat dan bertanya.
Fenomena populisme digital, yang memanfaatkan media sosial dan platform digital lainnya, kini menjadi salah satu cara baru dalam memperoleh dukungan politik. Tidak hanya aktor politik tradisional, tetapi juga individu dan kelompok memanfaatkan dunia maya untuk menyebarkan ideologi dan membentuk opini publik.
Bayu M. Noor mengungkapkan bahwa populisme digital ini beriringan dengan semakin banyaknya warga Indonesia yang terhubung dengan internet. Data BPS 2022 menunjukkan bahwa 67,99% warga Indonesia sudah memiliki ponsel, dan pada 2024, 79,5% dari mereka terhubung ke internet. “Indonesia adalah bangsa yang melek digital, yang membawa tantangan sekaligus kesempatan,” kata Bayu.
Namun, fenomena ini tidak tanpa dampak negatif. Menurut Bayu, peningkatan literasi digital ini juga membuka celah bagi penyebaran narasi kebencian dan polarisasi yang semakin intens, terutama di media sosial seperti Twitter, Facebook, dan Instagram. “Fenomena ini memunculkan polarisasi dalam masyarakat, terutama saat Pilpres 2024,” tambahnya.
Dalam perspektif politik, Muhammad Ramadhan menyoroti dampak populisme digital terhadap perilaku pemilih, khususnya dalam pemilu-pemilu besar. Ia menyebutkan bahwa penggunaan narasi populis dengan atribut SARA telah terlihat dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 dan Pemilu 2019. “Tokoh-tokoh populis menggunakan diseminasi informasi digital dengan narasi yang sangat emosional,” ujar Ramadhan. Ia juga menyatakan bahwa pada Pemilu 2024, penggunaan narasi populis telah bergeser, dengan munculnya narasi “politik riang-gembira” setelah pertemuan Jokowi-Prabowo pada 2019.
Webinar ini juga membahas dampak positif populisme digital, yang memberikan kesempatan bagi kelompok-kelompok marginal untuk menyuarakan isu-isu mereka melalui platform digital. Meskipun demikian, tantangan terbesar adalah dominasi narasi populis yang sering kali mengaburkan fakta dengan retorika emosional demi meraih dukungan.
Untuk menghadapi tantangan ini, penting bagi masyarakat untuk meningkatkan literasi digital dan menciptakan regulasi yang lebih baik terkait penyebaran disinformasi. Dengan demikian, diharapkan demokrasi Indonesia dapat tetap sehat dan berkelanjutan, meski di tengah era digital yang semakin berkembang. (Boy)