JAKARTA (Suara Karya): Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) meminta pembahasan RUU Kesehatan (Omnibus Law) segera dihentikan.
“Ada 4 alasan kenapa pembahasan RUU Kesehatan (Omnibus Law) ini harus dihentikan,” kata Ketua Umum PB IDI, Mohammad Adib Khumaidi dalam siaran pers, Minggu (9/4/23).
Pertama, PB IDI telah melakukan upaya proaktif yang konsisten, sejak munculnya Draft RUU Kesehatan (Omnibus Law) pada 2022 yang tidak jelas asal usulnya.
“RUU tersebut sudah tersusun rapi dan sistematis hingga langsung diterbitkannya secara resmi Draft RUU Kesehatan (Omnibus Law) sebagai inisiatif DPR pada 14 Februari 2023,” ujarnya.
Kedua, PB IDI mencermati segala isu, fitnah dan framing negatif yang ditujukan kepada organisasi IDI, profesi dokter dan profesi tenaga kesehatan Indonesia. Masih banyak masalah kesehatan yang belum tertangani oleh pemerintah.
Ketiga, Ikatan Dokter Indonesia adalah satu-satunya organisasi profesi dokter. PB IDI tersebar di 34 wilayah, 458 cabang, dan mencakup 41 perhimpunan dan 55 keseminatan.
IDI juga memiliki peran strategis sejak awal Indonesia merdeka hingga saat ini. IDI aktif dalam meningkatkan derajat kesehatan bangsa, terlebih di masa pandemi covid-19, dimana banyak dokter dan tenaga Kesehatan Indonesia wafat dalam upaya itu.
Keempat, PB IDI telah melakukan kajian secara seksama, mendalam dan komprehensif terhadap naskah RUU Kesehatan (Omnibus Law).
Atas dasar itu, PB meminta agar agar pembahasan RUU Kesehatan (Omnibus Law) dihentikan atau tidak diteruskan. Apalagi sampai ke Pengesahan dalam rapat Pembahasan di Tingkat (TK)-II.
“Dua sektor yang harus selalu berada ditangan orang berbangsa Indonesia di negeri sendiri adalah kesehatan dan pendidikan,” ucap Adib Khumaidi menegaskan.
Kesehatan merupakan pengejawantahan dari kesejahteran umum, sedangkan pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Keduanya sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Presiden pertama Indonesia, Soekarno pernah menyatakan bahwa masyarakat yang hendak kita tuju adalah masyarakat sosialis ala Indonesia yang ‘berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’.
“Pasar bebas yang intinya individualisme dan kapitalisme bertentangan dengan sosialisme ala Indonesia. Pasar bebas di sektor kesehatan sama saja dengan menentang konsep Bung Karno tentang Sosialisme Indonesia, yaitu Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia,” tuturnya.
Tantangan utama Indonesia saat ini adalah belum keluar dari himpitan krisis sehingga sulit mendapat pelayanan kesehatan yang baik. Diperlukan perbaikan fasilitas kesehatan, terutama di wilayah terpencil, perbaikan infrastruktur agar masyarakat dapat mengakses fasilitas kesehatan dengan mudah.
“Seorang dokter yang melakukan upaya penyelamatan nyawa harus memiliki hak imunitas yang dilindungi Undang-Undang. Disitulah peran organisasi profesi sebagai penjaga,” kata.
Namun, RUU Kesehatan (Omnibus Law) justru menghilangkan peran organisasi profesi sebagai penjaga hak imunitas. Jika hal itu diteruskam maka banyak tenaga medis masuk dalam masalah hukum secara mudah.
“Adanya hak imunitas tenaga kesehatan akan berdampak pada ‘patient safety’. Masyarakat akan terdampak pada pelayanan kesehatan berbiaya tinggi karena potensi risiko hukum. Hal itu menjadi paradoks dengan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang menerapkan efisiensi pembiayaan,” katanya.
Penolakan masif oleh dokter, tenaga kesehatan, mahasiswa kedokteran dan kesehatan, serta rakyat Indonesia terhadap RUU Kesehatan (Omnibus Law) harus menjadi perhatian serius.
Jika tidak, hal itu akan berdampak pada terganggunya stabilitas nasional, karena pelayanan publik dibidang kesehatan ikut terdampak.
Ketua Umum PB IDI menyerukan kepada seluruh dokter Indonesia untuk terus solid, bersatu, memperkokoh ikatan kolegialitas dan kesejawatan, mematuhi etik serta terus berikhtiar dalam meningkatkan derajat kesehatan rakyat Indonesia. (Tri Wahyuni)