Suara Karya

Kenaikan PPN 12% Antara Kebutuhan Fiskal dan Daya Beli Masyarakat

Ronsi B Daur (Foto: Dok. Pribadi)

Perdebatan mengenai rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang berlaku mulai 1 Januari 2025 semakin hangat diperbincangkan. Keputusan ini bukanlah hal baru karena sudah tercantum dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang telah disahkan pada 2021. Namun, dengan situasi ekonomi yang masih belum stabil, terutama pasca-pandemi COVID-19 dan ketidakpastian global, keputusan ini perlu diperhatikan dengan seksama. Bagaimana sebenarnya kebijakan ini akan memengaruhi masyarakat, dan apakah ada ruang untuk melakukan penyesuaian?

Seperti diketahui, PPN adalah salah satu sumber utama penerimaan negara yang berperan penting dalam pembiayaan anggaran negara. Kenaikan PPN menjadi 12% yang sudah diatur dalam UU HPP memang terlihat sebagai langkah yang sah dan legal, namun dalam konteks ekonomi makro yang sedang lesu, kenaikan ini justru berisiko menambah beban masyarakat. Daya beli yang sedang tertekan, terutama di kalangan kelas menengah dan bawah, menjadi pertimbangan utama dalam menilai kebijakan ini.

Data dan fakta menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat belum pulih sepenuhnya dari dampak pandemi COVID-19. Banyak yang masih berjuang untuk mempertahankan kelangsungan hidup ekonomi mereka, terutama pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang baru mulai pulih dari hantaman krisis kesehatan global.

Sementara itu, ketidakstabilan ekonomi global dan konflik internasional yang terus berlarut-larut menambah tantangan bagi perekonomian domestik. Semua faktor ini memengaruhi pola konsumsi masyarakat, yang pada gilirannya akan berdampak langsung pada Produk Domestik Bruto (PDB).

Kenaikan PPN tentu saja akan meningkatkan penerimaan pajak negara, namun kebijakan ini bisa menjadi pedang bermata dua. Salah satu konsekuensinya adalah turunnya daya beli masyarakat, yang berpotensi mengurangi konsumsi rumah tangga.

Kita tahu, konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 55% terhadap total PDB Indonesia. Jika konsumsi menurun, maka PDB juga berisiko turun, yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi yang sudah diproyeksikan sebesar 8% pada APBN 2025.

Penting untuk dicatat bahwa kenaikan PPN, meskipun bertujuan untuk meningkatkan penerimaan pajak, bisa berdampak pada peningkatan tax ratio yang lebih tinggi. Namun, peningkatan ini mungkin tidak mencerminkan keberhasilan ekonomi yang sesungguhnya. Sebab, tax ratio yang lebih tinggi didapatkan bukan dari meningkatnya perekonomian riil, tetapi justru karena penurunan konsumsi masyarakat yang memengaruhi PDB secara keseluruhan.

Evaluasi Kembali Kenaikan PPN

Mengingat situasi ekonomi yang masih belum stabil, ada baiknya jika pemerintah melakukan evaluasi kembali terhadap rencana kenaikan PPN menjadi 12%. Kebijakan fiskal yang tepat harus memperhatikan keseimbangan antara penerimaan negara dan kemampuan masyarakat untuk berkontribusi terhadap pajak. Jangan sampai kebijakan yang seharusnya mendongkrak ekonomi justru berbalik arah, menambah beban masyarakat, dan memperburuk ketimpangan sosial.

Dalam hal ini, mekanisme penyesuaian (adjustment mechanism) yang disebutkan dalam UU HPP dapat digunakan sebagai dasar untuk mengevaluasi kebijakan tersebut. Pemerintah perlu terbuka untuk melakukan revisi dengan mempertimbangkan keadaan ekonomi saat ini, dengan tetap menjaga konstitusi dan tujuan utama dari kebijakan perpajakan, yaitu mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Pada akhirnya, kebijakan perpajakan harus diambil dengan mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Memang, penerimaan negara adalah hal yang penting untuk mendanai pembangunan, namun kenaikan PPN 12% harus dipastikan tidak menjadi beban tambahan yang malah memperburuk kondisi perekonomian.

Pemerintahan Prabowo-Gibran yang baru saja dimulai perlu bijak dalam mengelola kebijakan fiskal ini. Penyesuaian yang bijaksana akan memberi ruang bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih baik tanpa mengorbankan daya beli masyarakat.

Akhirnya, kita berharap pemerintah akan melihat kebijakan ini sebagai langkah yang tidak hanya mendongkrak tax ratio, tetapi juga mampu menciptakan keseimbangan antara penerimaan negara dan keberlanjutan ekonomi nasional yang lebih inklusif dan berpihak pada rakyat.

Penulis adalah  Praktisi Perpajakan

Ronsi B Daur

Related posts