Suara Karya

Kasus Depresi di Jakarta 10 Kali Lebih Tinggi, Kemenkes Siapkan Konseling Gratis

JAKARTA (Suara Karya): Hasil Cek Kesehatan Gratis (CKG) yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan pada Februari 2025 lalu menunjukkan hasil yang cukup mengejutkan.

Pasalnya, di Provinsi DKI Jakarta, prevalensi depresi mencapai 9,3 persen dan kecemasan 7,6 persen. Kasus depresi di Jakarta 10 kali lebih tinggi dari rata-rata nasional, sementara kecemasan 7 kali lebih tinggi

“Kondisi itu jika tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan risiko besar, seperti suka menyakiti diri sendiri atau berpotensi untuk bunuh diri,” kata Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan, Kementerian Kesehatan, Imran Pambudi dalam diskusi media, di Jakarta, Rabu (10/9/25).

Imran menekankan perlunya pencegahan, karena gangguan jiwa itu berdampak tidak hanya pada penderita, tapi juga pada sekitar 35 orang di sekitarnya, baik keluarga, teman, penolong, maupun tetangga.

“Sayangnya, tidak jarang keluarga justru menjadi sumber masalah, bukan pelindung,” ucap Imran.

Sebagai langkah konkret, Kemenkes menyediakan skrining kesehatan jiwa, konseling gratis, dan hotline krisis melalui 119 serta layanan daring yang aktif 24 jam dalam 8 shift oleh tenaga Ikatan Psikolog Klinis (IPK).

Mayoritas pengguna layanan hotline gratis adalah usia 21-30 tahun, yang mana 70 persennya adalah perempuan. Provinsi Jawa Barat mencatat jumlah pengguna terbanyak, yakni 229 orang. Angka di DKI Jakarta relatif lebih rendah karena Pemda memiliki hotline konseling sendiri.

Imran meminta pada media untuk
berhati-hati dalam memberitakan kasus bunuh diri, karena bisa memicu dampak lebih luas di masyarakat.

“Pemberitaan bunuh diri yang keliru, dapat memicu efek ‘copycat’, yaitu tindakan meniru,” tuturnya.

Hal senada dikemukakan psikiater dr Albert Maramis. Ia mencontohkan peristiwa pada 2018, ketika kasus bunuh diri di Palembang diikuti kejadian serupa hanya dua hingga tiga hari kemudian di kota lain.

“Media harus berhati-hati. Jangan sampai pemberitaan memicu orang lain meniru. Lebih baik mengangkat kisah-kisah penyintas (survivor), mereka yang punya masalah tapi berhasil bangkit tanpa memilih jalan bunuh diri,” ujarnya.

Narasumber lain, Ketua Dewan Pers Periode 2016-2019, Stanley Adi Prasetyo menambahkan, Dewan Pers sudah memiliki pedoman terkait pemberitaan kasus bunuh diri. Salah satunya, media tidak diperkenankan menampilkan detail cara bunuh diri.

“Tujuannya agar kasus serupa tidak berulang di masyarakat,” katanya.

Ditanya tindak lanjut Kemenkes atas temuan tersebut, Imran Pambudi menjelaskan, CKG bukanlah diagnosis, melainkan alat skrining menggunakan instrumen PSQ-4 yang hanya mengidentifikasi potensi anxietas (kecemasan) dan depresi.

“Kalau hasil skrining menunjukkan potensi, kita sarankan dirujuk ke profesional. Bisa ke Puskesmas dengan dokter yang sudah dilatih, ke psikolog, atau bila diperlukan ke psikiater,” ucapnya.

Imran berharap kolaborasi media, tenaga kesehatan, dan masyarakat dapat mengurangi stigma serta mencegah meningkatnya kasus bunuh diri.

“Gangguan jiwa adalah masalah serius, tapi bisa ditangani bila kita bersama-sama membangun lingkungan yang peduli dan suportif,” kata Imran menegaskan. (Tri Wahyuni)

Related posts