JAKARTA (Suara Karya): Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama, Ahmad Haikal Hasan mengungkapkan, ‘Halal Expert’ akan menjadi salah satu profesi yang paling dicari tahun depan.
“Profesi paling dicari bukan lagi dokter atau insinyur, tetapi Halal Expert atau pakar di bidang halal,” kata pria yang akrab disapa Babe Haikal dalam kegiatan media gathering bertajuk ‘Menuju Wajib Halal Oktober 2026: Memperkuat Ekosistem Bisnis dengan Tertib Halal’ di Jakarta, Senin (6/10/25).
Haikal dalam kesempatan itu didampingi Sekretaris Utama BPJPH,
Muhammad Aqil Irham.
Dijelaskan, meningkatnya kesadaran global terhadap produk halal telah menciptakan peluang besar bagi tenaga ahli bersertifikat di bidang tersebut. Banyak negara yang ingin mengembangkan industri halal, namun masih kekurangan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten.
Ia mencontohkan tukang jagal hewan halal di Korea yang bergaji hingga Rp60 juta per bulan. Di Australia, para tukang jagal halal bahkan mendapat rumah dan beasiswa anak. “Dunia butuh Halal Expert, tapi orangnya belum ada,” ungkapnya.
Karena itu, Haikal mengajak masyarakat untuk bergabung dalam ekosistem halal nasional melalui pelatihan sebagai penyelia, pendamping, maupun auditor halal. “Mari bergabung bersama BPJPH dan jadilah bagian dari keluarga besar halal Indonesia,” ajaknya.
Haikal menekankan, pentingnya sertifikasi halal. Sertifikasi tersebut kini tak lagi sekadar kewajiban regulatif, tetapi sudah menjadi standar global yang merepresentasikan kualitas, kebersihan, dan kesehatan produk.
“Dunia telah berubah. Amerika pengen halal, Eropa pengen halal, bahkan Polandia datang tiap hari ke kami untuk kerja sama halal,” ujarnya.
Menurut Haikal, negara penghasil produk halal terbesar di dunia saat ini bukan Arab Saudi, melainkan Cina, Brasil, dan Amerika Serikat. “
“Mereka sadar bahwa halal adalah simbol dari mutu, transparansi, dan kepercayaan konsumen,” ucapnya.
Dijelaskan, regulasi halal di Indonesia telah berevolusi selama 5 dekade. Jika pada 1974 sifatnya masih sukarela, maka mulai 17 Oktober 2024 sertifikasi halal menjadi wajib (mandatory) bagi seluruh produk yang beredar di Indonesia.
“Mulai dari Sabun, pasta gigi, dan kosmetik wajib berlabel halal. Jika tidak mencantumkan logo halal atau tidak menuliskan ‘mengandung babi’, produk itu dianggap ilegal dan bisa kena sanksi,” tegasnya.
Haikal memastikan, masa pemberlakuan kewajiban sertifikasi halal tetap sesuai jadwal, yakni Oktober 2026. “Dulu sempat diperpanjang dari 2025 ke 2026. Tahun 2026 ini sudah ‘fix’, tidak ada perpanjangan lagi,” tandasnya.
Ia menegaskan, kebijakan halal bukan hanya persoalan agama, tetapi menyangkut integritas, kebersihan, dan kualitas produk.
“Dunia sedang menuju ke arah itu. Indonesia tidak boleh tertinggal,” pungkasnya.
Babe Haikal menggambarkan nilai ekonomi halal dengan istilah 3C, yaitu Cuan, Cengli, dan Cincai. “Halal itu cuan. Halal itu meningkatkan daya saing. Dengan halal, kepercayaan konsumen meningkat dan nilai tambah produk ikut naik,” ujarnya.
Ia mencontohkan kesuksesan beberapa merek lokal seperti J.Co dan Roti O yang menerapkan prinsip transparansi dalam proses produksi. “Ketika konsumen bisa melihat dapur dan prosesnya, itulah nilai halal sesungguhnya, yaitu kejujuran dan keterbukaan,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Babe Haikal menyampaikan kebijakan khusus Presiden Prabowo Subianto yang memberi sertifikasi halal gratis bagi pelaku UMKM kuliner tradisional.
“Ini kado dari Presiden. Warteg, warung padang, soto Betawi, rawon, pecel lele, hingga angkringan akan diprioritaskan dan digratiskan sertifikasi halalnya,” katanya.
Sejak kebijakan itu diluncurkan, tercatat ada 700 warteg sudah bersertifikat halal, dan 500 lainnya sedang dalam proses.
“Kalau warung lokal tidak segera halal, mereka bisa kalah dari franchise luar negeri yang sudah lebih dulu memperhatikan aspek halal,” ujarnya.
Haikal menyebut, hingga Oktober 2025, BPJPH mencatat 9,5 juta produk telah bersertifikat halal, dengan sekitar 10 persen di antaranya berasal dari luar negeri.
“Ke depan, target kita adalah membentuk satu juru sumber halal di setiap desa,” katanya.
Menurutnya, proses sertifikasi halal tidak hanya menyentuh produk, tetapi juga sumber daya manusia (SDM)-nya. Salah satunya melalui pelatihan kepala dapur sebagai penyelia halal.
“Kenapa kepala dapur duluan? Karena penyelia halal harus memahami aktivitas harian di dapur. Semua akan terlibat,” ujarnya.
Pelatihan itu melibatkan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan Kementerian Kesehatan, agar standar keamanan dan kehalalan produk semakin meningkat.
Saat ini, sekitar 5.000 kepala dapur telah terdaftar dalam program pelatihan BPJPH, dengan kapasitas 1.000 peserta per sesi,” katanya. (Tri Wahyuni)