Suara Karya

Belajar Aktif dalam Program PINTAR Disukai Siswa, Katanya Lebih Seru

JAKARTA (Suara Karya): Siswa SMPN 3 Pekanbaru, Riau mengaku suka dengan model pembelajaran yang ditawarkan dalam program PINTAR (Pengembangan Inovasi Kualitas Pembelajaran) yang digagas Tanoto Foundation (TF). Kegiatan belajar aktif dirasakan para siswa lebih seru, dibanding model pembelajaran pasif seperti diterapkan selama ini.

“Salah satu ciri dari pembelajaran aktif adalah penempatan kursi dan meja dalam bentuk kelompok,” kata guru bahasa Indonesia SMPN 3 Pekanbaru, Riau, Arlini saat melihat dari dekat pelaksanaan program PINTAR yang digagas TF di sekolah tersebut, pada akhir pekan lalu.

Artinya, lanjut Arlini, kursi tidak lagi disusun menghadap ke papan tulis. Di SMPN 3 Pekanbaru, kelas dibagi dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 siswa. Melihat suasana kelas seperti itu, mengingatkan kita pada model CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) yang pernah diterapkan pemerintah di era tahun 80-an.

Meja disusun membentuk kelompok dan menempatkan siswa sebagai subyek belajar. Mereka mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, lalu melaporkan hasil pengamatan tersebut. Dengan demikian, sekolah benar-benar fungsional dan efektif memberi pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas.

“Guru membuat Lembar Kerja (LK) yang berisi penugasan atau pertanyaan produktif, terbuka, dan imajinatif,” tuturnya.

Melalui LK, lanjut Arlini, siswa didorong untuk membangun gagasannya sendiri, berpikir kreatif dan berpikir alternatif untuk memecahkan masalah dalam pembelajaran

LK diterapkan dalam pembelajaran aktif dengan unsur MIKiR. Melalui MIKiR, siswa difasilitasi untuk mengalami seperti melakukan kegiatan pengamatan, memecahkan masalah, berwawancara, atau melakukan percobaan saat pembelajaran berlangsung.

Siswa dibentuk dikumpulkan dalam kelompok kecil untuk agar lebih mudah ber-interaksi, berdiskusi atau bekerja sama. Hasil karya, gagasan atau pikiran siswa nantinya akan dipresentasikan atau di-komunikasi-kan. Saat itu, topik pembelajaran soal kebakaran hutan di Riau pada pertengahan tahun ini. Siswa diminta menuangkan gagasannya dalam bentuk gambar dan cerita dalam 8 kolom, lalu dipresentasikan di depan kelas.

“Kami tidak menilai gambar siswa. Karena ini pelajaran bahasa Indonesia. Anak kami ajak untuk membuat gambar cerita untuk memudahkan presentasinya,” kata Arlini.

Anak-anak terlihat asyik menggambar kebakaran hutan dengan gayanya masing-masing. Tak ada pembatasan, yang penting setiap gambar memiliki ceritanya masing-masing. Siswa tidak perlu menyontek temannya, karena semua tergantung imajinasi dari masing-masing siswa.

Salah satu siswa, Zahwa Indria mengaku senang dengan model pembelajaran MIKiR. Karena ia bisa berkreasi atas apa yang ditugaskan guru. Sehingga proses pembelajaran jadi lebih menyenangkan.

“Memang kadang sulit menuangkan pikiran ke dalam gambar atau tulisan. Tetapi jika kita rajin berlatih, kelamaan jadi lebih mudah. Malah, semua materi pembelajaran lebih nempel di kepala, dibanding hanya mendengar omongan guru di depan kelas,” tutur Zahwa.

Termasuk mata pelajaran matematika, yang dulu dirasakan Zahwa agak sulit. Berkat MIKiR ia jadi suka matematika, karena mengerjakan soal dengan LK tak sekadar mengerjakan soal dengan menghapal rumus-rumus. Begitupun dengan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang langsung lebih banyak praktik melakukan percobaan atau pengamatan langsung.

“Belajar sekarang jadi lebih seru. Karena banyak hal baru yang kami pelajari di kelas. Bisa diskusi dengan teman saat mengerjakan tugas,” katanya.

Pernyataan berbeda disampaikan Nadia Iftiwata Rahman, yang mengaku suka cara mengajar guru yang menjelaskan. “Saya masih kesulitan dalam mengerjakan soal-soal di di lembar kerja. Model pembelajaran baru ini repot. Saya suka model pembelajaran guru menjelaskan sementara siswa mendengar,” kata siswa yang terlihat pendiam tersebut.

Seperti ditambahkan Arlini, tidak ada satu model pembelajaran yang pas dengan keinginan semua orang. Tampaknya para guru masih harus bekerja lebih keras lagi dalam membantu siswa memahami model pembelajaran aktif yang perlu dimiliki siswa di abad 21. Siswa yang biasa berpikir kritis, mampu memecahkan masalah secara kreatif, suka bekerja sama dan pandai mengkomunikasikan hasil karyanya akan menyenangi model pembelajaran aktif.

Proses belajar mengajar di SMPN 3 Pekanbaru aktif sejak pukul 7 pagi. Sekolah dengan jumlah siswa sebanyak 560 siswa memulai pagi dengan kegiatan mengaji dan kultum (ceramah pendek). Kegiatan dipusatkan di halaman luas yang ada dalam sekolah. Bagi siswa nonmuslim, bisa membaca Al Kitab masing-masing.

Kegiatan mengaji dan kultum berlangsung selama 30 menit setiap hari Selasa hingga Jumat. Kegiatan selanjutnya adalah membaca buku bacaan tidak disuarakan. Kondisi berlangsung senyap.

Seminggu sekali, sekolah akan menggelar pentas yang dilakukan oleh siswa. Para siswa unjuk kebolehan lewat kegiatan baca puisi, menceritakan kembali isi buku yang sudah dibaca, atau pertunjukan kreativitas lainnya seperti menari dan menyanyi. Kegiatan itu digelar setiap Rabu-Kamis.

Belajar dari kepemimpinan kepala sekolah di SMPN 3 Pekanbaru, terbukti kepala sekolah memainkan peran penting dalam meningkatkan mutu pembelajaran. Untuk itu, pemilihan kepala sekolah harus mempertimbangkan unsur kepemimpinan yang dapat membawa sekolahnya menjadi lebih baik lagi. (Tri Wahyuni)

Related posts