Suara Karya

Bonggas: Memenangkan Pileg Harus Punya Strategi Jitu

Dosen dan konsultan politik, Bonggas Adhi Chandra, dalam bedah buku karyanya berjudul 'Winning Strategy: Strategi Jitu Pemenangan Legislatif, di Media Center, gedung DPR, Jakarta, Selasa (29/1/2019).

JAKARTA (Suara Karya): Pemilu serentak 2019, dinilai sebagai pemilu yang bersejarah dalam kontestasi politik lima tahunan di Indonesia. Pasalnya, pemilihan kepala negara dan kepala pemerintahan (presiden) kali ini ini, dilakukan secara serentak dengan pemilihan anggota legislatif (pileg).

“Semula, penggabungan pemilu yang diatur dalam undang-undang ini, dilakukan dengan harapan adanya penyederhanaan sistem pemilu, sekaligus penghematan anggaran. Namun dalam perkembangan hingga H-3 bulan pelaksanaan, pemilu legislatif (pileg) lebih sepi ketimbang pemilihan presiden (pilpres),” ujar dosen dan konsultan politik, Bonggas Adhi Chandra, dalam bedah buku karyanya berjudul ‘Winning Strategy: Strategi Jitu Pemenangan Legislatif, di Media Center, gedung DPR, Jakarta, Selasa (29/1/2019).

Hadir dalam kesempatan tersebut, anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Andreas Pareira, pengamat politik yag juga Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (IPI) Burhanuddin Muhtadi, dan Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya.

Bonggas mengatakan, meski jumlah caleg dan partai yang bertarung lebih banyak dibanding pemilu 2014, namun suasana pileg terkesan ‘adem ayem’. Hanya beberapa caleg yang masif memasang branding di media outdoor. Kondisi demikian, jauh berbeda dengan suasana pesta demokrasi di tahun 2014. Pileg pun, katanya, terkesan tenggelam oleh hiruk pikuk pilpres dan isu-isu seputar calon presiden (capres).

“Para caleg tampak melakukan strategi wait and see, entah sampai kapan? Hanya sedikit caleg dan tim suksesnya yang sudah benar-benar melakukan ‘serangan darat dan serangan udara’ secara sistematis dan terpola,” ujar Bonggas menambahkan.

Tak hanya itu, kata dia, media sosial sebagai sarana yang murah dan efektif, dinilai masih minim dimanfaatkan oleh para caleg. Kekhawatiran yang muncul, ujar Bonggas, adalah para caleg berusaha meminimalkan pengeluaran di awal untuk kemudian menggelontorkan dana masif di minggu bahkan hari-hari terakhir dalam bentuk politik uang.

“Bila ini terjadi, maka makin hancurlah sistem demokrasi kita, terlebih di parlemen. Karena, parlemen akan dikuasai mereka yang duduk dengan menggunakan politik uang. Dan bila kekhawatiran ini terjadi, hampir bisa dipastikan parlemen akan lemah dalam mengimbangi eksekutif, dan tindak pidana korupsi akan semakin banyak menyeret para wakil rakyat di semua lini,” ujar alumnus Uppsala, Universitas Swedia dan University of Queensland, Australia ini. (Gan)

Related posts