Suara Karya

Dibutuhkan Insinerator Skala Kecil Atasi Limbah Medis di Masyarakat!

JAKARTA (Suara Karya): Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengembangkam insinerator skala kecil untuk pengolahan limbah medis di masyarakat. Karena jumlah dan volume limbah medis terus meningkat, seiring bertambahnya kasus positif covid-19 di Tanah Air.

“Bertambahnya limbah medis di masyarakat, belum diimbangi dengan kapasitas pengolahan limbahnya. Untuk itu, BRIN akan memanfaatkan teknologi pengolah limbah dan teknologi daur ulang guna mengatasi masalah limbah medis tersebut,” kata Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko dalam siaran pers, Kamis (29/7/21).

Pernyataan tersebut disampaikan dalam rapat terbatas tentang pengelolaan limbah berbahan bahaya dan beracun (B3) medis covid-19 yang dipimpin Presiden Joko Widodo melalui konferensi video pada Rabu (28/7/21).

Handoko menambahkan, ada beberapa teknologi yang sudah dikembangkan lama oleh peneliti di Indonesia untuk membantu mengatasi masalah limbah secara signifikan. Teknologi dipakai tergolong skala kecil dan bersifat ‘mobile’.

Penggunaan teknologi itu, lanjut Handoko, diharapkan bisa menjangkau daerah-daerah yang memiliki penduduk relatif sedikit, dengan skala limbah yang juga tidak banyak. Selain itu, teknologi itu juga diyakini lebih hemat dibandingkan membuat insinerator terpusat dalam skala besar,

“Kalau kita membangun insinerator skala besar, tak saja biayanya lebih mahal, tetapi juga menimbulkan masalah terkait pengumpulan. Karena upaya pengumpulan dari limbah ke insinerator yang terpusat akan menimbulkan biaya tersendiri,” ujarnya.

Hansiko mengusulkan teknologi daur ulang limbah medis yang berpotensi memunculkan nilai tambah secara ekonomi. Cara itu diyakini meningkatkan kepatuhan fasilitas kesehatan penghasil limbah, karena ada insentif finansial dari bisnis daur ulang tersebut.

“Upaya itu juga berpotensi mengurangi biaya pengelolaan limbah secara keseluruhan,” katanya.

Handoko mencontohkan, alat penghancur jarum suntik yang bisa menghasilkan residu berupa ‘stainless steel’ murni, daur ulang untuk APD (alat pelindung diri) dan masker yang bahan dasarnya polypropylene. Sehingga limbah tersebut menghasilkan propylene murni (PP), jenis plastik propylene murni yang nilai ekonominya juga cukup tinggi.

Kepala BRIN juga mengungkapkan, saat ini sarana pengelolaan limbah medis tidak sebanding dengan penambahan volume limbah medis yang semakin meningkat. Karena, baru 4,1 persen dari seluruh rumah sakit di Indonesia yang memiliki izin untuk fasilitas insinerator.

“Di Indonesia, baru ada 20 pelaku usaha pengelolaan limbah, yang semuanya terpusat di Pulau Jawa. Jadi distribusinya belum merata,” tuturnya.

Handoko berharap, inovasi teknologi itu dapat meningkatkan motivasi untuk mengumpulkan dan mengolah limbah, meningkatkan kepatuhan, dan menciptakan potensi bisnis baru bagi para pelaku usaha skala kecil. (Tri Wahyuni)

Related posts