Suara Karya

Dinilai Tak Efektif, Kemdikbud Diminta Evaluasi Pembelajaran Daring

JAKARTA (Suara Karya): Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) untuk membuat melakukan evaluasi dan kajian serius tentang pembelajaran daring (online) selama pandemi corona virus disease (covid-19). Hasilnya bisa digunakan sebagai salah satu landasan dalam pembuatan blueprint (cetak biru) pendidikan nasional.

“Saat ini adalah momen yang tepat bagi Kemdikbud untuk membuat blueprint pendidikan nasional, sebagai awal menuju era digital di masa depan,” kata anggota Komisi X DPR RI, Ferdiansyah dalam seminar daring berjudul ‘Efektivitas Pembelajaran Daring di Tengah Pandemi Covid-19’, Senin (18/5/20).

Dua pembicara lain dalam seminar yang digelar Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), yaitu Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian dan Wakil Dekan FIP UMJ, Ismah.

Politisi dari Partai Golkar itu menilai, pentingnya segera dilakukan monitoring dan evaluasi pembelajaran daring, guna mengukur seberapa efektif kebijakan itu diterapkan. Karena hasil pemantauan selama ini menunjukkan baru segelintir sekolah yang mampu menggelar pembelajaran daring.

“Kemdikbud beragam aktivitas dalam mengisi kebijakan Belajar Dari Rumah (BDR). Apakah program tersebut efektif di lapangan, karena fakta menunjukkan banyak sekolah yang tidak ada fasilitas listrik maupun layanan internet,” tuturnya.

Ferdi menyebut, ada 6.604 unit SD yang tidak memiliki fasilitas listrik. Di jenjang SMP, sekolah yang tidak dialiri listrik ada 817 unit dan SMA sebanyak 86 unit. Data lainnya menunjukkan ada 33.227 sekolah sudah tersambung listrik, tetapi tidak ada layanan internet.

“Kebijakan Belajar dari Rumah selama pandemi covid-19 sudah berjalan lebih dari dua bulan. Bagaimana nasib para siswa yang tidak mampu mengakses semua sumber belajar yang disiapkan pemerintah. Hal-hal semacam ini harus mendapat perhatian,” ujarnya.

Ia berharap Balitbang Kemdikbud membuat penelitian atau kajian yang serius seputar kebijakan Belajar dari Rumah. “Kali ini jangan bikin penelitian yang ecek-ecek. Penelitian itu harus ada solusi bagaimana mengatasi permasalahan yang ada,” katanya.

Karena hasil pemantauan selama ini menunjukkan, penerapan belajar online sangat beragam. Ada sekolah yang bisa langsung lari kencang, tetapi ada sekolah yang masih merangkak karena baru memahami konsep belajar online.

“Tetapi ada juga sekolah yang bersikap tidak peduli terhadap siswanya. Sekolah hanya menutup sekolahnya, tanpa ada rencana kegiatan untuk siswanya. Dianggap penutupan sekolah sebagai bagian dari masa liburan sekolah,” tuturnya.

Ferdi berharap hasil evaluasi kebijakan pembelajaran daring bisa menjadi momentum bagi Kemdikbud untuk mulai menyusun cetak biru pendidikan Indonesia di era digital. Hal itu bisa menjadi dasar pijakan bagi anak bangsa di masa depan.

Sementara itu, Wakil Dekan I FIP UMJ, Ismah menceritakan perjuangan sekaligus tantangan bagi kampus dalam menggelar pembelajaran daring selama pandemi. Karena selalu saja ada mahasiswa yang malas dan berlaku tidak jujur.

“Pembelajaran daring sebenarnya bukan sesuatu yang baru bagi UMJ. Kami sudah sering melakukannya, tetapi sekarang jadi kegiatan rutin setiap hari,” katanya.

Tantangan dari pembelajaran daring adalah dosen tidak bisa seksama dalam memantau aktivitas mahasiswa yang ikut kelas daring. Buka laptop, sekadar buat absensi lalu lanjut tidur kembali. Tak sedikit mahasiswa membuat tugas dengan cara copy paste dari temannya.

“Kami bisa memaklumi tindakan yang dilakukan mahasiswa di tengah pandemi ini. Memang bukan perkara gampang mengerjakan tugas, tanpa data pendukung karena kampus ditutup. Yang penting mereka sudah rajin ikut, meski belum tentu mendengarkan dengan baik,” ujar Ismah.

Ditambahkan, kesuksesan pembelajaran daring hanya bisa dicapai jika semua pihak saling mendukung dan memberikan motivasi. Sebab persoalan ini tidak hanya dihadapi Indonesia, namun juga telah menjadi tantangan global.***

Related posts