JAKARTA (Suara Karya): Kolaborasi Indonesia-China mengembangkan model baru penguatan pendidikan vokasi, bernama U2B. Program pendidikan tiga tahun yang menggabungkan studi di universitas dalam negeri, universitas di China dan magang langsung di industri.
“Jadi peserta program ini tak hanya belajar teori, tetapi langsung bekerja di industri selama 1 tahun,” kata Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi, Stella Christie dalam acara bertajuk ‘2025 China-Indonesia Education Industry Collaboration Summit’ di Jakarta, Rabu (15/10/25).
Stella menjelaskan, universitas bukan sekadar lembaga akademik, tetapi juga motor penggerak inovasi dan pusat riset yang bisa memberi dampak nyata bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
“Semua negara maju menempatkan universitas sebagai sumber inovasi industri. Indonesia juga harus ke arah sana,” ucap Stella yang saat itu didampingi Dirjen Sains dan Teknologi, Ahmad Najib Burhani.
Ia mencontohkan kemajuan pesat China atau Tiongkok dalam riset dan teknologi. Berdasarkan Nature Index, pada 2016 hanya satu universitas Tiongkok yang masuk jajaran 10 besar dunia dalam publikasi riset berkualitas tinggi.
“Namun pada 2024, jumlahnya melonjak hingga 8 universitas. Perubahan itu terjadi dalam kurang dari 10 tahun. Jika ada dukungan pemerintah dan strategi yang tepat, maka Indonesia pun bisa mengejar,” kata Stella.
Untuk itu, pemerintah tengah serius memperkuat pendidikan vokasi, dengan dukungan lebih dari 5.400 pusat pelatihan dan puluhan politeknik di seluruh Indonesia.
“Kita ingin memastikan pendidikan vokasi tidak lagi dianggap kelas dua. Justru lulusan vokasi adalah tulang punggung industri masa depan,” tegasnya.
Dalam forum tersebut, Stella juga menyoroti pentingnya riset dan teknologi dalam meningkatkan nilai tambah sumber daya alam Indonesia.
“Indonesia memiliki potensi besar di bidang mineral, pertanian, maritim, dan kehutanan. Namun tanpa inovasi dari universitas dan dukungan industri, sumber daya ini tidak akan memiliki nilai ekonomi tinggi,” katanya.
Ia mengungkapkan, hingga tahun 2040, potensi ekonomi dari penguatan riset dan inovasi diperkirakan akan memberi dampak sebesar 618 juta dolar AS terhadap perekonomian nasional.
Di sesi penutup, Stella menyoroti pentingnya memastikan bahwa tenaga ahli di industri, terutama perusahaan asing di Indonesia, adalah lulusan dalam negeri.
“Banyak investasi besar dari Tiongkok dan negara lain masuk ke Indonesia. Tapi sayangnya, banyak posisi ahli masih diisi tenaga kerja dari luar. Ini yang ingin kami ubah,” ujarnya.
Untuk itu, Kemendiktisaintek bersama industri Tiongkok berupaya melakukan ‘business matching’ antara perusahaan dan kampus Indonesia agar riset, kurikulum, dan kebutuhan industri bisa selaras.
“Inovasi tidak datang begitu saja dari perusahaan. Di seluruh dunia, inovasi besar lahir dari universitas. Karena itu, kampus harus menjadi jantung riset yang hidup berdampingan dengan industri,” ujarnya.
Stella menutup sambutannya dengan optimisme bahwa di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, kolaborasi antara pendidikan tinggi dan industri akan menjadi pilar utama pembangunan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan.
“Kami di kementerian sangat serius membangun jembatan antara pendidikan tinggi dan industri. Inilah langkah nyata menuju Indonesia yang inovatif dan berdaya saing global,” pungkasnya. (Tri Wahyuni)