JAKARTA (Suara Karya): Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy meminta daerah untuk menghentikan praktik jual beli kursi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Hal itu menodai makna sesungguhnya dari pendidikan.
“Jangan dikira saya tidak tahu praktik jual beli kursi di sekolah. Modusnya dibuat seperti apa, saya pun tahu. Pokoknya, selama kecurangan itu dibiarkan tumbuh di sektor pendidikan, jangan harap Indonesia bisa maju,” kata Muhadjir di depan peserta ‘Seminar on PISA: Assessing 21st Century Life Skills’ di Jakarta, Senin (8/7/2019).
Muhadjir kemudian menyinggung soal korupsi berjemaah oleh anggota DPRD Malang. Menurut dia, salah satu yang menjadikan para anggota Dewan itu dicokok KPK adalah persoalan bagi-bagi kursi di sekolah.
“Di tempat saya (Malang), anggota DPR kena KPK berjemaah salah satunya karena bagi-bagi kursi di sekolah. Apa itu kita biarkan? Saya rasa kita sepakat jika kita ingin mengubah Indonesia dengan jujur dan baik, pendidikan harus dikedepankan,” ucapnya.
Muhadjir menambahkan, pelaku yang terlibat praktik jual-beli kursi harus ditindak tegas. Persoalan itu sepenuhnya diserahkan ke penegak hukum. “Pelaku kecurangan harus ditindak tegas. Biar aparat yang menyelesaikannya. Karena, praktik semacam itu kan kriminal,” katanya.
Ia kembali berharap lewat program zonasi tidak ada lagi praktik jual beli bangku. Mengingat, saat ini sudah tidak ada lagi yang namanya sekolah favorit. Sekolah harus menerima siswa yang tempat tinggalnya dalam satu zonasi dengan sekolah.
“Minggu lalu saya ke sekolah yang dulu dikenal favorit. Nilai UN terendah saja 9,3. Sekolah itu sekarang dimasuki siswa dengan nilai rata-rata UN 3,5. Pemerataan nilai semacam itu perlu, agar tidak ada lagi sekolah favorit siswa yang siswanya pintar semua,” katanya.
Ditanyakan soal pendapat anggota DPR yanh menyayangkan kebijakan zonasi diterapkan dalam kondisi kualitas sekolah yang belum merata, Muhadjir meminta agar pola pikirnya yang diubah. Kebijakan zonasi dibuat agar tidak ada ketimpangan antar sekolah.
“Kalau tidak dizonasikan, daerah tak peduli soal perlunya pemerataan pendidikan. Sekarang kan jadi kelihatan, daerah mana saja yang blank spot, karena tidak ada sekolah negerinya disana. Dan daerah mana saja yang kelebihan sekolah negeri,” katanya.
Muhadjir menegaskan, kebijakan zonasi menuju pemerataan pendidikan butuh waktu yang tidak sebentar. Jepang saja butuh waktu 30 tahun, sedangkan Australia butuh 20 tahun.
“Jadi kalau terjadi pro dan kontra selama penerapan zonasi, yang tidak masalah. Karena Jepang saja butuh 30 tahun untuk itu. Sementara kebijakan zonasi baru 2 tahun,” ujarnya.
Ditambahkan, pihaknya akan terus melakukan evaluasi sistem zonasi yang disesuaikan dengan kondisi daerah. Sehingga kebijakan tersebut dapat dipahami pemerintah daerah dan masyarakatnya dengan baik.
“Evaluasi akan dilakukan terus, sambil melakukan perbaikan agar tahun depan prosesnya dapat dilaksanakan lebih baik lagi,” kata Muhadjir menandaskan. (Tri Wahyuni)