Suara Karya

Mengenal Berry Devanda, Guru Pesisir Selatan Penulis Aktif di PMM

JAKARTA (Suara Karya): Menjadi guru di SMAN 1 Koto XI Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan, yang berada nun jauh di pelosok, tak menghalangi Berry Devanda untuk ‘bersinar’. Tak hanya mendorong dirinya untuk menjadi pribadi yang lebih baik, tetapi juga rekan guru dan siswanya.

Kemilau sinar itu terlihat pada karir akademik Berry. Tak hanya lulus sebagai sarjana, pria berusia 38 tahun itu juga lulusan S2 dari kampus di Adelaide, Australia dan kini sedang mengambil program doktor ilmu pendidikan di Universitas Negeri Padang.

Pengalaman hidup Berry tersebut terbilang langka. Karena hampir jarang ditemui seorang guru dengan gelar akademik hingga doktor. Bahkan ini dilakukan oleh seorang guru di desa.

“Tak ada target tertentu saat memutuskan untuk mengambil program doktor di UNP. Saya hanya suka belajar. Itu saja,” kata Berry kepada media dan tim dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) di sekolahnya yang berjarak sekitar 2 jam dari kota Padang, Kamis (14/12/23).

Berry menuturkan, semangat belajarnya terus menggelora setelah kembali dari studinya di Australia. Berry kembali ke sekolah tak hanya sekadar menjadi guru, tetapi juga ingin membantu guru lain di sekolah tersebut untuk akrab dengan teknologi digital.

“Saya mulai dari 1-2 guru yang berminat saja. Saya ajari mereka bagaimana mengakses ilmu dan pengetahuan dari internet. Apalagi saat itu Kemdikbudristek baru saja meluncurkan Flatform Merdeka Belajar (PMM) untuk guru,” tutur lulusan S1 Ilmu Fisika UNP tersebut.

Meski awalnya tak mudah, Berry mengaku senang melihat hasilnya. Butuh waktu 18 bulan hingga hampir 100 persen guru di SMAN 1 Koto XI Tarusan, Pesisir Selatan mahir mengakses PMM. Bahkan beberapa guru aktif mengunggah video pembelajaran mereka yang diharapkan menjadi inspiratif bagi guru lainnya.

Pria kelahiran Koto XI Terusan, Pesisir Selatan itu ternyata ikut membantu dalam pengembangan Platform Merdeka Mengajar (PMM). Hal itu bermula saat diundang menjadi peserta Master Google Trainer yang digelar Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemdikbudristek.

“Pada 2022, saya dipanggil Tim PMM ke Jakarta untuk menjadi kontributor pembuatan modul ajar, sebagai modul awal PMM terutama pada fitur perangkat ajar,” kata alumnus Program Guru Penggerak (GP) Rekognisi jalur fasilitator.

Materi bahan ajar yang dibuat berdasarkan pengalamannya mengajar di kelas lebih dari 10 tahun, kuliah ilmu pendidikan di Australia dan ilmu yang diperolehnya dari membaca dari berbagai sumber.

“Pengalaman saat mengajar di kelas, saya buat dalam format digital agar bisa diakses di PMM. Saya bersyukur karena apa yang saya lakukan didukung penuh oleh sekolah,” kata Berry yang didampingi Kepala Sekolah SMAN 1 Koto XI Terusan, Yepi Herpanda dan Kabid GTK Provinsi Sumatera Barat, Suindra.

Berikutnya, Berry juga diminta untuk berpartisipasi dalam fitur baru di PMM bernama Cerita Praktik yang berisi pengalaman para guru dari seluruh Indonesia seputar praktik baiknya dalam mengajar dan mendidik siswanya. Fitur tersebut diharapkan menjadi inspirasi bagi guru lainnya.

“Sebelum perilisan fitur tersebut, saya diminta pendapatnya oleh Tim PMM tentang layout, hingga desain tulisan untuk keterbacaannya. Termasuk saat uji coba fitur baru tersebut,” katanya.

Berry mengakui bukan hal mudah membuat modul belajar, karena harus mencakup berbagai aspek keilmuan. Apalagi nantinya modul tersebut akan diakses oleh guru seluruh Indonesia. “Modul yang dibuat tidak boleh asal-asalan. Karena itu prosesnya cukup lama,” ucapnya.

Berry mengaku respek terhadap Kemdikbudristek yang mengembangkan PMM. Aplikasi tersebut sangat bermanfaat bagi guru, terutama di desa-desa minim dukungan. “Biasanya jika ada kurikulum baru, guru yang diundang kebanyakan dari kota. Sehingga kami guru daerah tidak ada akses,” ungkapnya.

Aplikasi PMM sangat membantu guru, terutama di daerah dalam mempelajari hal-hal baru dalam pembelajaran, tanpa perlu diundang bimtek ke kota.

“Digitalisasi ini membuat semua guru mendapat akses. Kendalanya adalah ketersediaan internet,” kata Berry yang berharap internet sudah masuk ke desa-desa di Indonesia.

Ditanya soal fitur favorit, Berry mengatakan, pelatihan mandiri karena berisi materi pendukung yang bisa digunakan guru untuk mengembangkan kemampuan diri. Terutama pada materi yang dirasakan sulit saat mengajar.

Ia mencontohkan materi numerasi yang membuatnya paham bagaimana mengajarkan hal-hal numerasi kepada siswa agar mudah dimengerti.

“Cukup klik saja, ada puluhan materi numerasi yang bisa dipelajari. Kalau materi ini diberikan secara konvensional secara tatap muka, butuh waktu 3 hari. Tak hanya hemat waktu, tapi juga biaya. Tinggal klik-klik saja, ilmu itu tersedia di sana,” kata Berry menandaskan. (Tri Wahyuni)

Related posts