Suara Karya

Penerimaan Mahasiswa Jalur Mandiri Perlu Lebih Transparan

JAKARTA (Suara Karya): Penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri harus dibuat lebih transparan. Hal itu guna menghindari tindakan korupsi dan penyalahgunaan wewenang.

Demikian dikemukakan Senior Fellow Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Totok Amin Soefijanto dalam siaran pers, Rabu (24/8/22).

Totok menilai, penerimaan mahasiswa melalui jalur mandiri masih dibutuhkan. Karena bisa menjadi sumber pendapatan bagi kampus dan memberi kesempatan kepada mahasiswa dari keluarga mampu untuk membayar lebih, sebagai bagian dari skema subsidi silang.

“Namun, sistem penerimaan tersebut harus dibuat handal dan transparan, sehingga problem yang bersifat pribadi seperti korupsi atau penyalahgunaan wewenang bisa dihindari,” tuturnya.

Ia mengingatkan, jalur mandiri tidak bisa begitu saja dihapus lantaran satu kesalahan yang terjadi. Untuk itu perlu dipertegas lagi soal integritas dan komitmen dari para pengelola jalur tersebut.

“Momen ini dapat dimanfaatkan untuk mengevaluasi sistem penerimaan mahasiswa baru secara keseluruhan. Hal itu untuk mengembalikan kepercayaan publik dan meningkatkan kualitas mahasiswa dan perguruan tinggi,” ucap Totok menegaskan.

Ia juga berharap kasus yang terjadi saat in tidak mempengaruhi jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Dua sistem tersebut selama ini sudah bagus dalam menjaring calon mahasiswa secara nasional dan masif, dengan biaya terjangkau.

“Semoga jalur-jalur ‘paket hemat’ itu menjadi mahal, lantaran penghapusan jalur mandiri. Karena perguruan tinggi akan mengambil kekurangan dana operasional dari mahasiswa dua jalur tersebut,” ujarnya.

Mahasiswa PTN lewat jalur mandiri biasanya dikenakan biaya yang lebih mahal dibanding jalur SNMPTN dan SBMPTN.

Untuk itu, menurut Totok, perguruan tinggi perlu memikirkan strategi jangka panjang terkait pembiayaan, peningkatan kualitas dan ketersediaan sarana dan prasarana di kampus yang memadai.

Apalagi perguruan tinggi harus memenuhi berbagai indikator standar mutu dan akreditasi yang ditetapkan pemerintah. Misalkan, jumlag dosen tetap lebih banyak dari yang tidak tetap.

“Meningkatnya biaya kebutuhan dan upaya pembenahan, perguruan tinggi belum mempertimbangkan keberlangsungan keuangan dan model bisnis secara jangka panjang,” katanya.

Model bisnis yang bersifat jangka panjang memberi kemandirian sekaligus keleluasaan bagi perguruan tinggi dalam meningkatkan kualitas. Karena itu, transparansi perlu dikedepankan agar program yang dilakukan bisa terawasi dengan baik dan adaptif terhadap perkembangan dunia pendidikan. (Tri Wahyuni)

Related posts