JAKARTA (Suara Karya): Diagnosis dan dukungan yang kuat bagi anak dengan Sindrom Turner sangatlah penting. Hal itu dapat membuatnya tumbuh sehat dan meraih masa depan yang gemilang.
Sindrom Turner adalah kelainan kromosom yang terjadi hanya pada anak perempuan. Kasusnya masih kurang dikenal oleh masyarakat Indonesia.
“Padahal, deteksi dan penanganan sejak dini, anak dengan Sindrom Turner tetap bisa tumbuh sehat,” kata Ketua Yayasan Kesehatan Anak Global (YKAG), Prof Dr dr Aman Pulungan, SpA(K), Sabtu (19/7/25).
Pernyataan Prof Aman Pulungan tersebut disampaikan dalam webinar bertajuk ‘Kupas Tuntas Sindrom Turner: Deteksi, Perawatan, dan Dukungan’.
Acara tersebut terselenggarakan hasil kolaborasi antara YKAG dan Turner Syndrome Society Indonesia.
Prof Aman menceritakan beberapa pasien dengan Sindrom Turner yang berhasil menempuh pendidikan di jenjang yang lebih tinggi. Bahkan, ada yang lulusan dari fakultas kedokteran di luar negeri, ada yang lulus dari fakultas psikologi, hukum, dan lain-lain.
“Ini membuktikan, lewat perawatan yang tepat dan dukungan yang memadai, anak dengan Sindrom Turner juga dapat tumbuh optimal dan meraih masa depan yang cerah. Karena itu, pentingnya diagnosis sejak dini,” ucapnya.
Secara global, Sindrom Turner terjadi pada 1 dari 2.000-2.500 kelahiran hidup bayi perempuan. Namun data di Indonesia masih sangat terbatas. Sehingga kasus di Indonesia belum diketahui secara pasti.
Hal senada disampaikan pakar Sindrom Turner lainnya, yaitu dr Karina Sugih Arto, MKed(Ped), SpA(K). Dalam paparannya, Karina menegaskan, Sindrom Turner sebenarnya memiliki tanda-tanda di setiap tahap kehidupan.
“Namun, gejala yang paling mudah dikenali saat anak mulai bertumbuh. Rata-rata anak dengan Sindrom Turner memiliki perawakan yang pendek,” ucapnya.
Perawakan pendek adalah tanda paling konsisten pada masa kanak-kanak. Kalau tinggi badan anak jauh lebih pendek dibanding teman sebayanya, sebaiknya tidak dianggap wajar.
“Dari beberapa gejala itu, kita harus waspada. Karena bisa menjadi pertanda anak terkena Sindrom Turner,” katanya.
Tanda lain yang bisa muncul, antara lain pembengkakan di leher saat anak berada dalam kandungan. Setelah lahir, anak memiliki tangan dan kaki bengkak, leher bersayap, garis rambut belakang rendah, dan kelainan jantung.
Di masa tumbuh kembang, anak dengan Sindrom Turner memiliki gejala selain perawakan pendek, juga sering mengalami infeksi telinga berulang, gangguan kuku, langit-langit mulut tinggi dan sempit.
Pada kondisi remaja hingga dewasa, anak dengan Sindrom Turner mengalami gagal pubertas, karena tidak mendapat haid, payudara tidak berkembang, dan bisa infertilitas.
“Jangan sampai anak sudah remaja dan pubertasnya tidak muncul, baru dicurigai sebagai Turner. Padahal, tanda yang muncul saat bayi sudah terlihat jelas. Harusnya langsung ditangani penyakitnya,” kata Karina.
Sementara itu, dr Ismi Citra Ismail, SpA(K) mengemukakan, pentingnya pendampingan anak dengan Sindrom Turner untuk tidak melewatkan masa pubertas. Karena mayoritas mereka tidak mengalami pubertas spontan.
Disebutkan 5 langkah penting yang harus dilakukan orangtua maupun tenaga medis di tempat anak tersebut mendapat perawatan. Pertama, pantau pertumbuhan dan usia tulang pada anak. Jika ada yang tidak normal, segera ambil tindakan.
Selain itu, siapkan mental anak dengan Sindrom Turner. Karena ada beberapa pengobatan yang harus dijalani. Berikan terapi estrogen pada anak usia 11-12 tahun.
Dan yang tak kalah penting, dampingi psikososial anak. Bahas masalah reproduksi dengan pendekatan sensitif. “Pubertas adalah masa kritis, bukan sekadar fisik tapi juga soal kepercayaan diri dan kesehatan mental anak,” ucap dr Ismi.
Melalui webinar, YKAG dan Turner Syndrome Society Indonesia mengajak seluruh pihak untuk meningkatkan kesadaran tenaga kesehatan dan publik dalam mengenali dan mendukung anak dengan Sindrom Turner.
Karena, anak dengan Sindrom Turner bisa berprofesi menjadi dokter, psikolog, atau pengacara asalkan mendapat penanganan lebih awal. (Tri Wahyuni)

