BANDUNG (Suara Karya): Dua ilmuwan kelas dunia, yaitu peraih Nobel Fisika, Brian Schmidt dan Presiden Australian Academy of Science (AAS), Chennupati Jagadish menyapa langsung komunitas akademik Indonesia lewat kuliah umum bertajuk ‘Shaping Tomorrow’.
Acara yang digelar sebagai bagian dari Konvensi Sains, Teknologi dan Industri Indonesia (KSTI) 2025 berlangsung di dua tempat yang berbeda, yaitu panggung bersejarah Laboratorium Bosscha ITB dan aula kampus Universitas Padjajaran, Bandung, pada Sabtu (9/8/25).
Kedua narasumber tersebut menghadirkan gagasan visioner tentang arah masa depan sains dan teknologi, sekaligus suntikan motivasi bagi sivitas akademika untuk berani keluar dari zona nyaman.
Schmidt mengawali sesi dengan mengingatkan bahwa masa depan sains bukanlah jalur lurus yang mudah ditebak. “Saya tidak dapat memprediksi masa depan. Untuk memecahkan masalah yang terus berubah secara dinamis, kita butuh teknik baru,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya ‘learning agility’ atau ketangkasan belajar sebagai bekal utama ilmuwan menghadapi perubahan global yang cepat.
Sementara itu, Jagadish menyoroti pentingnya literasi sains yang melibatkan semua lapisan, mulai dari pemerintah, universitas, industri, media, hingga publik luas.
“Masyarakat dengan literasi tinggi dapat mengambil keputusan berbasis bukti dan memiliki pola pikir kritis,” tegasnya.
Ia juga berbagi rahasia sukses, yaitu bekerja di bidang yang sesuai passion, menjaga sikap positif, memiliki ketahanan dan kegigihan, membangun kolaborasi, dan menemukan mentor yang tepat.
Menanggapi pertanyaan soal hilirisasi riset, Jagadish memaparkan model dukungan di Australia bagi dosen yang ingin membentuk perusahaan.
Di Indonesia, menurut Jagadish, dibutuhkan dialog strategis dengan pimpinan universitas untuk mengatur pendanaan dan teknis.
Namun ia menekankan, tidak semua ilmuwan harus menjadi pengusaha.
“Justru perbedaan keahlian adalah kekuatan untuk saling melengkapi,” ucapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Diseminasi dan Pemanfaatan Sains dan Teknologi, Kemdiktisaintek, Yudi Darma mengatakan, ilmu pengetahuan adalah pondasi, dan kolaborasi adalah jembatannya.
“Keduanya perlu diperkuat untuk menghadapi tantangan global,” kata Yudi Darma.
Ditambahkan, rangkaian kuliah umum itu tak sekadar pertukaran ilmu, tetapi juga bagian dari memperkuat jejaring internasional.
Hasil diskusi yang siap menjadi masukan strategis bagi kebijakan sains dan teknologi nasional menuju Indonesia Emas 2045.
Di Unpad, kegiatan ditutup dengan penyerahan cendera mata yang difasilitasi Wakil Rektor Prof Rizki Abdullah. (Tri Wahyuni)