JAKARTA (Suara Karya): Banyak peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mengira, saat berpindah segmen kepesertaan dari mandiri menjadi pekerja penerima upah (PPU), maka tunggakan iuran sebelumnya otomatis dihapus.
Tunggakan iuran tersebut tetap harus dibayarkan peserta, meski tak ada batas waktu yang ditetapkan. Bahkan, hingga para pekerja itu menjadi peserta mandiri kembali karena pensiun, resign atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Jangan kaget, kalau tunggakan itu bakal muncul lagi saat peserta berpindah segmen lagi dari PPU ke mandiri. Agar tidak menjadi ‘duri’ di masa depan, pastikan peserta melunasi tunggakan saat menjadi karyawan, kan sudah punya gaji,” kata Kepala BPJS Kesehatan Cabang Jakarta Selatan, Herman Dinata Mihardja.
Pernyataan Herman disampaikan dalam acara bertajuk ‘Ngobrol Program Terkini Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)’ di Jakarta Selatan, Rabu (5/11/25).
Herman menjelaskan, BPJS Kesehatan menawarkan kemudahan pembayaran tunggakan iuran, melalui skema Rencana Pembayaran Bertahap (REHAB) yang memungkinkan tunggakan dilunasi dengan cara mencicil secara ringan dan fleksibel.
“Peserta tak perlu lagi khawatir dengan tumpukan iuran yang menggulung. Lewat REHAB, mereka bisa melunasi tunggakan secara bertahap setiap bulan. Kami siapkan mekanisme khusus agar proses pelunasan lebih ringan,” tuturnya.
Disebutkan syarat yang harus dipenuhi peserta REHAB. Pertama, untuk peserta JKN segmen mandiri, minimal masa tunggakan adalah 4 bulan. Peserta mandiri yang beralih segmen ke PPU, syarat minimal masa tunggakan adalah 2 bulan.
Selain itu, ada perbedaan jangka waktu cicilian bagi kedua jenis peserta JKN menunggak. Peserta JKN mandiri dapat mencicil sebanyak 12 kali atau setengah dari jumlah bulan menunggak.
Sedangkan peserta JKN mandiri yang beralih segmen ke PPU dapat mencicil paling banyak 36 kali, karena status kepesertaannya sudah aktif kembali.
“Jika dilihat, peserta mandiri yang alih segmen ke PPU lebih panjang waktu cicilannya, namun pada intinya keduanya tetap mendapat keringanan dan kemudahan untuk melunasi tunggakan iuran,” ucap Herman.
Ditanya soal peserta mandiri yang alih segmen ke PBI (penerima bantuan iuran), apakah tetap harus membayar tunggakan sebelumnya, Herman mengatakan, hal itu masih menjadi pembahasan di BPJS Kesehatan Pusat.
“Belum ada keputusan dari BPJS Kesehatan Pusat apakah tunggakan mereka akan dihapus atau diputihkan. Kita tunggu saja kebijakan dari Pusat,” tuturnya.
Hal senada dikemukakan Petugas Pemeriksa BPJS Kesehatan Jakarta Selatan, Dwi Karunia Sianturi. Perubahan status kepesertaan tidak menghapus kewajiban membayar tunggakan, sesuai Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018.
“Walau sudah pindah segmen, kewajiban melunasi iuran tetap ada. Ini penting agar peserta tetap mendapat perlindungan penuh saat membutuhkan layanan kesehatan, terhindar dari denda pelayanan, dan tetap bisa mengakses berbagai layanan publik,” jelasnya.
Dwi menyebut perbedaan lain antara peserta mandiri dengan peserta mandiri alih segmen ke PPU terkait status kepesertaan. Peserta yang pindah segmen dari Mandiri ke PPU, statusnya tetap aktif. Karena iuran terkini dibayarkan kantor. Sedangkan tunggakan sebelumnya menjadi tanggung jawab pribadi.
“Meski ada tunggakan iuran, peserta pindah segmen ke PPU bisa digunakan untuk berobat karena status kartu aktif. Beda dengan peserta Mandiri, selama tunggakan itu belum dibayar lunas, maka kartunya tidak aktif,” jelasnya.
Karena itu, peserta Mandiri diingatkan untuk tidak sakit lebih dulu selama proses mencicil, karena status kepesertaannya tidak aktif. Kalau sakit, maka peserta Mandiri bisa terkena biaya denda tunggakan, yang angkanya cukup fantastis.
Herman mencontohkan, jika peserta harus dirawat inap di rumah sakit hingga biaya pengobatan mencapai Rp80 juta, misalkan, maka denda tunggakan yang harus dibayarkan peserta yang menunggak iuran adalah Rp80.000.000×5%× 2 bulan tertunggak.
“Jika dihitung, angkanya melebihi batas tertinggi denda tunggakan, sebesar Rp20 juta. Jumlah yang besar kan. Padahal tunggakan tak sampai Rp1 juta. Itulah pentingnya peserta membayar iuran tepat waktu, agar tidak terkena denda tunggakan yang angkanya bisa sebesar itu,” ujarnya.
Penyelesaian tunggakan iuran itu, menurut Dwi, muaranya adalah kemudahan bagi peserta JKN itu sendiri, baik itu untuk mengaktifkan kepesertaan, jaminan penuh ketika berobat, terhindar dari denda pelayanan saat rawat inap, hingga pemenuhan syarat akses pelayanan publik seperti pembelian tanah, pengurusan SKCK dan sebagainya.
Dwi menegaskan, prinsip gotong royong dalam JKN harus terus dijaga, di mana peserta yang sehat membantu yang sakit, dan peserta mampu membantu yang membutuhkan.
Program REHAB juga mendapat dukungan dari Kepala Seksi Komunikasi dan Informasi Publik Sudinkominfotik Jakarta Selatan, Erwin Lobo, yang berkomitmen memperluas sosialisasi program ini kepada masyarakat.
“Secara pribadi saya baru tahu tentang REHAB dari BPJS Kesehatan. Kami siap berkolaborasi melalui kanal media sosial dan berbagai program informasi publik, agar masyarakat semakin paham tentang kewajiban dan manfaat JKN,” ujarnya.
Melalui REHAB, BPJS Kesehatan tidak hanya membantu peserta menyelesaikan kewajiban finansialnya, tetapi juga memastikan tidak ada warga yang kehilangan akses terhadap jaminan kesehatan hanya karena kendala tunggakan iuran. (Tri Wahyuni)

