JAKARTA (Suara Karya): Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemdiktisaintek) membentuk Direktorat Jenderal (Ditjen) Sains dan Teknologi (Saintek) yang akan
membentuk masyarakat ilmu pengetahuan (citizen-based science).
“Selama ini saintek terkesan kurang membumi karena keilmuan hanya bisa diakses oleh ilmuwan dan akademisi,” kata Sekretaris Ditjen Saintek, Kemdiktisaintek, M. Samsuri dalam diskusi media, di Jakarta, Selasa (18/2/25).
Samsuri dalam kesempatan itu didampingi Direktur Diseminasi dan Pemanfaatan Sains dan Teknologi, Kemdiktisaintek, Yudi Darma.
Dijelaskan, Ditjen Saintek memiliki tiga direktorat yaitu Direktorat Bina Talenta Sains dan Teknologi; Direktorat Strategi dan Sistem Pembelajaran Transformatif; dan Direktorat Diseminasi dan Pemanfaatan Sains dan Teknologi.
“Lewat tiga direktorat ini, diharapkan tercipta kebijakan dan program yang akan menjadi solusi berbasis ilmu pengetahuan bagi masyarakat,” ujarnya.
Program prioritas Ditjen Saintek, lanjut Samsuri, berfokus pada penguatan ekosistem saintek nasional sehingga Indonesia menjadi lumbung ilmu pengetahuan yang diakui di kancah global.
“Potensi Indonesia sendiri sangatlah kaya, baik dari keanekaragaman hayati, sumber daya mineral, hingga budaya. Sayangnya, potensi itu baru lekat dengan ilmuwan dan akademisi, belum berdampak ke masyarakat,” tuturnya.
Hal senada dikemukakan Direktur Diseminasi dan Pemanfaatan Saintek, Kemdiktisaintek, Yudi Darma. Katanya, saintek perlu didekatkan kepada khalayak luas sehingga terbentuk masyarakat ilmu pengetahuan (citizen-based science).
“Upaya itu penting untuk menghindarkan masyarakat dari berbagai fenomena sosial, seperti penyebaran hoaks, kasus judi online, dan pinjaman online,” katanya.
Ada beberapa arah kebijakan yang akan dikembangkan, yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat. “Nantinya masyarakat menjadikan saintek sebagai keseharian. Saat bertindak atau mengambil keputusan, semua dilakukan berbasis saintek,” ucapnya.
Untuk itu, lanjut Yudi Darma, pihaknya tengah menyusun program untuk diseminasi dan pemanfaatan saintek. “Ketika pemanfaatan saintek semakin besar, maka harapannya sains akan membudaya. Pada akhirnya, budaya saintek ini akan berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat,” ujar Yudi.
Ditambahkan, diseminasi saintek akan melibatkan berbagai asosiasi untuk diplomasi sains. Strategi yang dilakukan tak sebatas memamerkan produk atau inovasi, tetapi juga menggabungkan saintek dengan seni agar lebih mudah dipahami masyarakat.
“Program tersebut dinamakan rapsodi saintek dan seni,” katanya.
Terkait pemanfaatan saintek, program yang digarap adalah pengembangan ‘living lab’ yang diartikan sebagai ekosistem hidup berbasis sains dan teknologi.
Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) itu menjelaskan, selama ini kesenjangan pengetahuan terjadi karena sebagian besar penelitian berada di laboratorium tertutup yang terbatas aksesnya.
Melalui living lab, lanjut Yudi Darma, proses penelitian dikembangkan dalam masyarakat berlandaskan kolaborasi dan ko-kreasi sehingga pengembangan saintek akan berbasis pada potensi lokal.
“Living lab juga akan membentuk sebuah rantai ekonomi yang bertujuan untuk menyejahterakan komunitas,” tuturnya.
Sirektorat Diseminasi dan Pemanfaatan Saintek juga akan mengelola program riset pendanaan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang sedang berjalan.
Program tersebut kelanjutan dari Program Ekosistem Kemitraan yang sebelumnya dilakukan Konsorsium Perguruan Tinggi Penyelenggara Pendidikan Vokasi (PTPPV) di 27 provinsi periode 2023-2024.
“Program ini disebut Berdikari, yang fokus pada riset berbasis potensi daerah untuk peningkatan ekonomi komunitas, berdasarkan hasil pemetaan pada tahun sebelumnya, yang disetujui oleh Pemerintah Daerah. Luaran dari program ini adalah teknologi tepat guna,” kata Yudi Darma.
Skema Program Berdikari meliputi Ekonomi, Mandiri, Sejahtera (EMAS) yang berfokus pada pengembangan riset, guna menghasilkan produk saintek yang dimanfaatkan untuk meningkatkan ekonomi komunitas melalui potensi lokal.
“Besaran pendanaan per riset pada rentang Rp100 juta hingga maksimal Rp500 juta,” ujarnya.
Skema berikutnya adalah Berdaya Saing, Efektif, Berkelanjutan (BERLIAN) yang berfokus pada kontribusi riset terapan untuk rantai pasok dan peningkatan daya saing industri dalam negeri. Besaran pendanaan per riset maksimal Rp700 juta.
Total pendanaan Program Berdikari tahun ini dari LPDP sebesar Rp40 miliar yang sudah disalurkan ke 100 tim periset pada Desember 2024 lalu.
Pendanaan dari LPDP itu memungkinkan program dilaksanakan lintas tahun, dan berakhir pada Desember 2026.
Contoh gambaran Program Berdikari adalah riset terintegrasi yang dilakukan Konsorsium PTPPV Jawa Timur oleh Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS). Melalui 5 judul riset, Konsorsium PTPPV Jawa Timur ingin meningkatkan produktivitas peternakan sapi di Kecamatan Pudak, Ponorogo, Jawa Timur.
Ragam riset dari mulai optimalisasi ternak hingga pengolahan limbah. Diantaranya, D-COWs-Reog: otomatisasi kandang dengan sistem informasi terpadu untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas peternakan sapi perah; dan
SMART-UHT: pemanfaatan IoT untuk otomatisasi produksi susu UHT guna meningkatkan efisiensi, kualitas, dan daya saing ekonomi lokal.
Selain itu ada POROS-PJU: Smart Penerangan Jalan Berbasis IoT untuk Efisiensi Energi;
CREATE e-ATV: Solusi Ekosistem Elektrifikasi Transportasi pada Mobilisasi Hasil Susu dan Limbah Peternak Sapi Perah; dan
WAROK-GREEN: Optimasi Produksi Biogas dari Limbah Kotoran Sapi untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat.
“Dari judul riset yang didanai, sektor agro cukup mendominasi, baik di agrokreatif maupun agroteknologi. Semoga berbagai terobosan ini dapat meningkatkan ekosistem saintek hingga membentuk masyarakat Indonesia yang berbasis pada ilmu pengetahuan,” kata Yudi. (Tri Wahyuni)