JAKARTA (Suara Karya): Forum Risk Communication and Community Engagement (RCCE) mendesak Badan Gizi Nasional (BGN) untuk segera melakukan evaluasi dan perbaikan menyeluruh terhadap Program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Seruan ini disampaikan menyusul temuan lebih dari 9.000 anak mengalami keracunan akibat makanan MBG di 83 kabupaten/kota pada 28 provinsi, sebagaimana dilaporkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi IX DPR RI pada awal Oktober 2025.
“Satu anak sakit saja karena Program MBG, itu pertanda sistemnya gagal. Apalagi jumlahnya sudah ribuan. Program sebesar MBG tak boleh dijalankan tanpa sistem pengawasan, komunikasi, dan pelibatan publik yang kuat.”
Pernyataan itu menguat dalam Diskusi Perbaikan Pelaksanaan MBG yang dihadiri Menteri Kesehatan, Wakil Kepala BGN, Kepala BPOM, Deputi Badan Komunikasi Pemerintah, serta perwakilan masyarakat sipil seperti CISDI, JPPI, GKIA dan Pandemic Talks, di Jakarta, Selasa (7/10/25)
Dalam siaran pers Forum RCCE yang diterima kemarin disampaikan 7 rekomendasi utama kepada BGN agar program MBG kembali pada tujuan awalnya, yaitu menjamin gizi anak secara aman, sehat dan berkelanjutan.
Pertama, pentingnya partisipasi bermakna warga di semua tahapan program. Mereka harus dilibatkan secara nyata dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi.
RCCE mengusulkan adanya Forum Dialog Publik rutin setiap bulan antara pemerintah pusat/daerah, warga dan media.
Kedua, perlunya perbaikan komunikasi publik MBG berbasis empati dan tanggung jawab. Untuk itu, Pemerintah diminta untuk bersikap terbuka, empatik, dan tidak defensif saat terjadi insiden.
RCCE mendorong pembentukan juru bicara resmi MBG dan protokol komunikasi darurat seperti yang digunakan saat pandemi Covid-19, agar pesan publik lebih konsisten dan transparan.
Ketiga, Pemerintah perlu membuka kanal pelaporan publik yang mudah diakses, aman, dan dapat dilacak secara transparan. Kanal ini harus inklusif, terutama bagi kelompok rentan dan masyarakat dengan keterbatasan komunikasi.
Keempat, penyusunan protokol kedaruratan keracunan MBG. Protokol tersebut harus memastikan penanganan cepat di sekolah dan puskesmas, termasuk pelaporan insiden, pemeriksaan laboratorium, pembiayaan korban, dan pelatihan tenaga kesehatan.
Kelima, pentingnya transparansi informasi pelaksanaan MBG. Data pelaksanaan MBG seperti daftar sekolah penerima, dapur penyedia makanan (SPPG), penjamah makanan bersertifikat, data kasus, dan serapan anggaran harus dibuka untuk publik demi menjamin akuntabilitas.
Keenam, pemanfaatan riset dan bukti empiris dalam kebijakan rekomendasi dan hasil riset dari berbagai lembaga seperti CISDI, GKIA, JPPI, UNICEF, WFP, dan Monash University Indonesia perlu dijadikan dasar kebijakan agar MBG lebih efektif, aman, dan tepat sasaran.
Ketujuh, edukasi higienitas dan gizi berbasis komunitas. Edukasi rutin mengenai keamanan pangan, higienitas dapur, dan gizi seimbang harus dilakukan kepada guru, siswa, dan pengelola dapur sekolah.
Edukasi itu juga mencakup deteksi dini makanan tidak layak konsumsi dan penanganan cepat bila ditemukan makanan berisiko.
Sekadar informasi, RCCE adalah kelompok kerja lintas sektor yang dibentuk sejak Februari 2020 untuk mendukung komunikasi risiko dan pelibatan masyarakat selama pandemi Covid-19.
Seiring penurunan kasus pandemi, RCCE kini memperluas mandatnya melalui Keputusan Menteri Kesehatan No 1461 Tahun 2023, untuk mendukung berbagai program kesehatan prioritas nasional.
Forum RCCE terdiri dari perwakilan pemerintah, akademisi, media, organisasi masyarakat sipil, praktisi, dan badan usaha yang berkolaborasi untuk memastikan setiap kebijakan kesehatan publik memiliki dimensi komunikasi risiko dan pelibatan masyarakat yang kuat. (Tri Wahyuni)