JAKARTA (Suara Karya): APP Group menegaskan komitmennya untuk mendorong bisnis yang berpihak pada kelestarian alam melalui pendekatan forest positive, di ajang Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2025, di Jakarta, pada Jumat (10/10/25).
Penegasan itu disampaikan Chief Sustainability Officer APP Group, Elim Sritaba dalam sesi panel bertajuk ‘What is the Business Case for Investing in Nature?’. Ia hadir mewakili sektor kehutanan dan agribisnis Indonesia.
Panel yang dipandu Regional Director Southeast Asia, Tropical Forest Alliance/TFA, Rizal Algamar itu juga menghadirkan sejumlah tokoh global seperti CEO World Business Council for Sustainable Development/WBCSD, Peter Bakker; COO Indonesia Business Council, William Sabandar; Managing Director Standard Chartered Bank, Jaclyn Dove; dan Executive Director Yayasan Konservasi Alam Nusantara, Herlina Hartanto.
Diskusi menyoroti bagaimana sektor swasta, lembaga keuangan, dan organisasi konservasi dapat bersinergi untuk melindungi serta memulihkan modal alam, sekaligus membangun nilai ekonomi berkelanjutan.
Elim memperkenalkan strategi keberlanjutan terbaru APP Group, Regenesis sebagai langkah lanjutan dari kebijakan konservasi hutan yang diterapkan sejak 2013.
Lewat pendekatan itu, APP bertransformasi dari prinsip ‘do no harm’ menjadi regenerative, dengan menempatkan restorasi ekosistem dan perlindungan keanekaragaman hayati di jantung strategi bisnisnya.
“Tanpa hutan yang sehat, industri ini tidak dapat bertahan. Pengelolaan hutan yang bertanggung jawab bukan pilihan, melainkan fondasi dari pertumbuhan kami,” ucapnya.
Sebagai bukti nyata, APP Group meluncurkan ‘Forest Positive Policy’ dengan alokasi pendanaan sebesar 30 juta dolar AS per tahun, selama sepuluh tahun ke depan untuk mendukung proyek restorasi dan konservasi.
Dana itu akan diarahkan pada upaya pemulihan ekosistem, perlindungan satwa liar, dan penguatan rantai pasok yang berorientasi positif terhadap hutan (forest-positive supply chains).
Untuk menjamin transparansi, APP juga membentuk ‘Independent Restoration Unit’ dan ‘Advisory Panel’ yang akan melapor langsung kepada dewan direksi.
“Keberhasilan tidak lagi diukur dari komitmen di atas kertas, tetapi dari dampak di lapangan seperti seberapa luas hutan yang dipulihkan, keanekaragaman hayati yang dilindungi, dan manfaat yang dirasakan masyarakat sekitar,” tuturnya.
APP Group juga menyoroti pentingnya kolaborasi lintas sektor dan dukungan kebijakan untuk memperluas penerapan ‘nature-based solutions’ di Indonesia.
Menurut Elim, kebijakan nasional seperti moratorium hutan dan lahan gambut, sertifikasi SVLK, dan peta jalan FOLU Net Sink 2030 menjadi landasan kuat bagi sektor swasta untuk berkontribusi lebih luas.
“Dengan dukungan kebijakan yang tepat dan kemitraan lintas sektor, upaya restorasi dapat memberi dampak yang jauh lebih besar. Kolaborasi antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat adalah kunci menuju Indonesia yang hijau dan berketahanan,” ujarnya.
Kehadiran APP Group dalam ISF 2025 menjadi bukti konsistensi perusahaan dalam mendukung agenda nasional dan global untuk keberlanjutan, membangun masa depan yang seimbang antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan. (Tri Wahyuni)