JAKARTA (Suara Karya): Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bekerja sama Price waterhouse Coopers (PwC) Indonesia dan Amazon Web Services (AWS) menggelar kompetisi ‘Indonesia Healthcare AI Hackathon 2025’ untuk mencari solusi kesehatan berbasis AI (kecerdasan buatan).
Acara yang berlangsung selama 2 hari itu diikuti peserta lintas disiplin ilmu, mulai dari dokter, insinyur, peneliti, akademisi, hingga startup teknologi. Jumlah peserta mencapai 278 tim yang tersebar hingga 10 negara. Dari jumlah itu, seleksi mengerucut hingga menjadi 22 tim.
Peserta berkompetisi dan berkolaborasi mengembangkan solusi berbasis AI untuk lima penyakit utama di Indonesia, yaitu tuberkulosis, stroke, diabetes, penyakit kardiovaskular, dan stunting.
“Hackathon ini tak sekadar pamer teknologi, tetapi mencari cara agar AI benar-benar memberi manfaat nyata bagi manusia,” kata Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Herbuwono saat membuka ‘Indonesia Healthcare AI Hackathon 2025’ di Jakarta, Senin (13/10/25)
Hadir dalam kesempatan itu, PwC Indonesia Partner, Healthcare Lead, Eric Darmawan; PwC Germany Partner, Healthcare Lead, Christian Elsner; AWS Public Sector Lead & Head of Healthcare ASEAN, Muhamad Yopan; dan Chief Digital Transformation Office, Kemenkes, Setiaji.
Dante menjelaskan, Kemenkes sebenarnya telah mulai mengintegrasikan teknologi AI dalam berbagai layanan kesehatan, seperti diagnosis tuberkulosis lewat citra rontgen, chatbot diabetes, hingga AI di call center rumah sakit yang terbukti menurunkan waktu tunggu hingga 70 persen dan meningkatkan kepuasan pasien sebesar 35 persen.
“Langkah-langkah tradisional sudah tidak cukup. Indonesia dengan 17 ribu pulau butuh solusi yang cerdas. AI memungkinkan diagnosis yang lebih pintar, pengetahuan yang prediktif, dan akses yang lebih luas bagi semua wilayah,” ujar Dante.
Dante menegaskan, kunci suksesnya bukan semata di teknologi, melainkan kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, industri, akademisi, dan generasi muda.
“AI memungkinkan dokter umum di daerah membaca rontgen tanpa harus menunggu radiolog. AI juga bisa membantu tenaga kesehatan untuk bekerja lebih cepat dan adil,” ujarnya.
Yang terpenting, ditegaskan Dante, harus dilengkapi ‘evidence-based medicine’. Karena jika AI berdampingan dengan bukti ilmiah, maka AI bukan lagi eksperimen, tapi solusi nyata.
Hal senada disampaikan Partner dan Healthcare Leader PwC Indonesia, Eric Darmawan. Menurutnya, AI telah mengubah ulang cara kita memberi layanan kesehatan, mulai dari deteksi dini hingga perawatan berbasis data.
“Bayangkan diagnosis tuberkulosis hanya dari suara batuk, atau deteksi stroke lewat kamera ponsel. Ini bukan lagi mimpi, tapi kenyataan yang sedang dibangun di sini,” ucap Eric.
Kekaguman datang dari Christian Elsner, PwC Germany Partner, Healthcare Lead. “Saya belum pernah melihat partisipasi sebesar ini, sebanyak 278 tim dari 10 negara. Indonesia punya resep sempurna untuk lompatan besar dalam transformasi kesehatan,” ujarnya.
Elsner menilai Indonesia unggul karena memiliki masyarakat yang 80 persen positif terhadap AI, jauh di atas Eropa yang hanya 50 persen.
“Dalam 5 tahun ke depan, kami bukan lagi datang untuk mengajar, tapi untuk belajar dari Indonesia bagaimana menggunakan AI untuk melompat jauh,” ujar Elsner, yang disambut tepuk tangan hadirin.
Dukungan teknologi datang dari Public Sector Lead & Head of Healthcare ASEAN, AWS Indonesia, Mohamad Yopan. Katanya, kunci keberhasilan bukan hanya pada mesin, tapi pada manusia di baliknya.
“Di balik setiap statistik kesehatan, ada kisah manusia. Kami percaya teknologi tidak bisa menyelesaikan masalah tanpa manusia. Tapi manusia bisa menyelesaikannya dengan teknologi,” ujarnya.
AWS menyediakan sandbox environment, mentoring, dan infrastruktur cloud agar inovasi para peserta dapat berkembang menjadi solusi nasional, mulai dari deteksi penyakit dan pemantauan nutrisi hingga ekspansi telemedis ke pelosok negeri. (Tri Wahyuni)