JAKARTA (Suara Karya): Direktur Kelembagaan, Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti), Kemdiktisaintek, Prof Mukhamad Najib menyoroti persoalan besar yang selama ini jarang dibahas, yaitu kesenjangan publikasi antara apa yang dilakukan kampus dan apa yang diketahui publik.
Akibatnya, berbagai riset strategis dan inovasi penting dari perguruan tinggi kerap tidak terdengar luas, bahkan hilang tanpa jejak di ruang publik.
Pernyataan Prof Najib tersebut disampaikan dalam acara ‘Journalist Bootcamp Dikti 2025: Sinergi Dikti dan Media untuk Kampus Berdampak’, di Bogor, Sabtu (6/12/25).
Kegiatan dibuka oleh Sekretaris Ditjen Dikti, Kemdiktisaintek, Prof Setiawan secara daring. Hadir pula Staf Ahli Wamendiktisaintek, Gufron Amirullah.
Prof Najib mengatakan, sebenarnya banyak kampus memiliki karya besar, tetapi tidak memiliki strategi komunikasi publik yang memadai.
“Kami melihat kesenjangan yang sangat lebar. Riset kampus melesat maju, namun publikasinya macet. Akhirnya masyarakat tidak tahu betapa majunya perguruan tinggi kita,” ujarnya.
Ia mencontohkan Universitas Bandar Lampung (UBL), yang ternyata berhasil mengembangkan mikrosatelit untuk eksplorasi bulan dan memperoleh hibah jutaan dolar dari NASA Tiongkok.
“Fakta mengejutkan ini saya dapat saat mendampingi Pak Wamen ke kampus UBL. Mereka berhasil membuat riset berkelas internasional, tetapi nyaris tidak diketahui publik,” tuturnya.
Pengembangan mikrosatelit eksplorasi bulan tersebut, lanjut Prof Najib, UBL menggandeng tenaga ahli dari ITB, BRIN, dan UI. ‘Tapi sayangnya, riset ini tidak terkenal di masyarakat,” ujarnya.
Prof Najib menilai, kasus UBL mencerminkan persoalan klasik pendidikan tinggi, banyak inovasi besar, tetapi tidak tersampaikan ke masyarakat. Sehingga hilirisasi riset terhambat dan kesempatan kolaborasi tertutup.
Najib menyebut, salah satu akar masalah adalah budaya publikasi ilmiah yang tidak seimbang dengan publikasi populer.
“Dosen lebih fokus menulis jurnal yang pembacanya terbatas. Sementara publik membutuhkan informasi yang ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami,” kata Najib.
Ia menambahkan, sistem insentif akademik juga ikut memengaruhi pola tersebut. Karena menulis jurnal di Sinta bobotnya tinggi, sementara menulis artikel populer di media massa bobotnya sangat kecil.
“Jadi wajar kalau dosen enggan menyampaikan risetnya dalam format bahasa yang mudah dipahami masyarakat. Karena menulis jurnal di SINTA, dosen dapat kum 20, sedangkan menulis di Harian Kompas yang cukup sulit hanya mendapat kum 1,” katanya.
Karena minimnya publikasi positif, ruang publik justru dipenuhi isu-isu negatif mengenai perguruan tinggi, seperti konflik internal, kekerasan seksual, hingga hoaks ‘penemuan’ tanpa didukung bukti ilmiah.
“kibatnya, kontribusi kampus yang sebenarnya sangat besar justru tertutup oleh narasi sensasional. Kalau kampus tidak menceritakan ceritanya sendiri, orang lain yang akan mengisinya. Sayangnya, yang viral sering justru yang negatif,” ucapnya.
Najib menambahkan, pemerintah tengah memperkuat keterbukaan data pendidikan tinggi, termasuk akses penyajian data riset, inovasi, dan kegiatan pengabdian masyarakat.
“Kita ingin masyarakat melihat kampus bukan hanya sebagai institusi akademik, tetapi sebagai pusat solusi. Untuk itu, publikasi harus diperkuat,” tegasnya.
Setdirjen Dikti Saintek Prof Setiawan dalam sambutan pembukanya secara virtual menegaskan, pentingnya kolaborasi strategis antara perguruan tinggi dan media sebagai bagian dari transformasi menuju Kampus Berdampak.
“Media adalah jembatan yang memastikan kebijakan dan inovasi kampus sampai ke publik. Publik berhak mendapat informasi yang akurat, kredibel dan transparan,” ujar Setiawan.
Ia menyebut perlunya kampus memperkuat unit humas, membangun hubungan rutin dengan media, serta melatih dosen agar mampu menyampaikan hasil riset dalam bahasa populer.
“Jika publik tahu apa yang dikerjakan kampus, maka dukungan, kepercayaan, dan kolaborasi akan tumbuh. Inilah yang kita sebut kampus berdampak,” kata Prof Setiawan menandaskan. (Tri Wahyuni)

